Selasa, 21 April 2015

SEJARAH BATAK DAN KERAJAAN YANG PERNAH ADA

Media Budaya kali ini akan membahas mengenai Sejarah Batak dan kerajaan-kerajaan berikut raja-raja yang pernah ada di dalamnya. Batak merupakan salah satu etnis unik di Indonesia, dan memiliki peranan penting dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kedaulatan dan kemerdekaannya. Tercatat bahwa Raja Sisingamangaraja XII merupakan salah satu tokoh sejarah yang berperan dalam masa perjuangan melawan kolonialisme Belanda di abad 19. Namun bila dipilah lebih detil, maka akan tercatat kerajaan-kerajaan awal terbentuknya kerajaan Batak.

I. Kerajaan Batak Tua
           Berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan, baik yang berasal dari cerita rakyat, sejarahwan, kepustakaan dan riset; konon sekitar abad pertama Masehi telah berdiri Kerajaan Batak (Pa’ta) berkedudukan di Batahan (sekitar kota Natal sekarang). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh pantai barat Sumatera, dahulu disebut pulau Andalas (Baca: Adda las) sampai ke bagian barat pulau Jawa yang dihuni oleh suku Badui.
     Sebutan/istilah Badui berasal dari bahasa Austronesia purba yang masih banyak dipergunakan oleh orang Batak sekarang, terdiri dari dua suku kata, Ba-niadui (nun jauh disana).
         Pada masa itu, bangsa Batak menganut suatu kepercayaan yang disebut Agama Malim; pimpinannya disebut Raja Malim, dibantu oleh para Nabi yang disebut Panurirang, dan para pengikutnya disebut Parmalim. Berkaitan dengan pemerintahan, Raja Malim bertindak sebagai penasehat dan disebut Paniroi/Sitiroi. (ahli ilmu bumi dari Iskandariah, bernama Claudius Ptolomeus, menyebutnya Satyroy).
        Kepala pemerintahan yang disebut Sirajai Jolma bertindak sebagai Pemangku adat/Penegak hukum (Executip). Terbetik berita, bahwa pada masa jayanya Kerajaan Batak telah menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain seperti; Kerajaan Cola (India), Kerajaan Ming (Cina) dan telah memiliki semacam Perguruan Tinggi Parmalim di Gunungtua, dimana masih terdapat sisa-sisa peninggalannya hingga sekarang, antara lain:
  • Candi Portibi,
  • Biaro Bahal,
  • Sitopaon (Sitopayan)
  • Candi Bara
  • Candi Pulo
  • Candi Sipamutung
  • Candi Tandihat I
  • Candi Tandihat II
  • Candi Sisangkilon
  • Candi Manggis
      Candi-candi ini menandakan bahwa orang batak telah mengenal pendidikan dan telah memiliki beradaban yang maju.
       Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2 Masehi juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang di kenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.

Peta kuno sumatra oleh Claudius Ptolomeus
      Raja dari Sriwijaya yang muncul kemudian dan berkuasa di pantai timur pulau Sumatra, tidak pernah mengganggu keberadaan Kerajaan Batak di bagian barat; kabarnya, karena mereka masih ada hubungan keluarga; sama sama keturunan keluarga Sailendra, yaitu keluarga yang datang dari pulau Sai lam=Sai lan=Ceylon.
*.Di daerah Sumatra bagian selatan, terdapat banyak nama/ istilah yang punya kesamaan dengan bahasa Batak (Karakteristik Batak), antara lain:
  • Palembang = Palumbang    = luaskan/kembangkan
  • Lampung     = Lampung(u)  = semakin kumpul/bersatu.
  • Rajabasa      = Raja nabasa  = Raja yang budiman.
  • Kubu             = Benteng pertahanan.
  • Dihubu         = Ditaklukkan / di rebut.
  • Sakai             = Sangkae baca: Sakkae)=1/4
  • To lang bawang = Tulang bao (ejaan Batak) = Paman dari istri.
      Pada tahun 1024, Raja Rajendra Cola Dewa dari negeri Cola menyerbu negeri Batak, hal ini kabarnya disebabkan ketersinggungan Raja Cola Dewa I atas hubungan dagang antara Kerajaan Batak Tua dengan Kerajaan Ming pada waktu itu, dan pada tahun 1029 Kerajaan Batak Tua dapat ditaklukkan setelah berperang selama 5 tahun. Raja negeri Batak ditangkap, tetapi tidak dibunuh; negeri itu ditinggalkan begitu saja tanpa pemerintahan.
II. Kerajaan Barus
      Setelah jatuhnya Kerajaan Batak Tua (Batahan) sekitar tahun 1030, berbareng dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru, pecahan dari Kerajaan Batak Tua, Raja Malim (Pimpinan agama Malim) dari Gunungtua, menobatkan menantunya menjadi raja, Sirajai Jolma (Kepala Pemerintahan) berkedudukan di Barus. Untuk menunjukkan bahwa dialah yang mulamula/pertama menjadi raja di Kerajaan Batak Barus, maka dinamakanlah Raja Mula.
         Barus di sebut sebagai kota tertua di Nusantara, karena mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya
          Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia digantikan oleh anaknya Raja Sorimangaraja Batak I (Sorimangaraja = Sri Maharaja). Raja Sorimangaraja Batak I digantikan oleh anaknya yang kedua bernama Nasiak Dibanua dan Nasiak Dibanua digantikan oleh anaknya, bergelar Sorimangaraja Batak II.
             Tradisi awal para Raja Batak Barus selalu mengambil isteri dari keluarga Raja Malim; kebiasaan ini bertujuan demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi politik); Raja Sorimangaraja Batak II memperisterikan putri Raja Malim juga, yang melahirkan lima orang putra baginya;
  1. Siraja Bahar
  2. Sinambeuk
  3. Si Pakpak
  4. Jonggolnitano
  5. Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.
        Dari 5 orang putra Raja Sorimangaraja Batak II, hanya Sinambeuk yang mengambil isteri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim Mutiaraja. Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh seorang putra yang dinamakan Si Raja Batak; dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan perkampungan Sianjur Mulamula di tanah Toba.
         Pada masa pemerintahan Raja Sorimangaraja Batak II, orang Melayu Pagarruyung menyerbu Kerajaan Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang datang dari Gujarat ;perang itu memakan banyak korban. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Raja Sorimangaraja Batak II telah memperhitungkan, bahwa dia akan kalah perang, dengan cepat dialihkan kekuasaan pemerintahannya kepada Raja Malim Mutiaraja keponakannya itu (Paraman), dengan perjanjian setelah situasi sudah kondusif, kerajaan itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjian itu dengan suatu ikhar tanda barang pusaka, yang mereka namakan
"Tabutabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang," (Dari mana datangnya, harus kesitu juga kembalinya) 
      Sejak peristiwa pengalihan kekuasaan itu, Raja Mutiaraja memegang dua tampuk kepemimpinan, yaitu: selaku pimpinan agama disebut Raja Malim dan selaku Kepala pemerintahan (Sirajai Jolma), disebut Raja Uti. Pada awalnya, gelaran Kepala pemerintahan itu disebut Raja Unte (baca: Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan Raja Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim) yang selalu mempergunakan Jeruk purut (Unte pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja itu dengan sebutan Raja Mangalambung yang arti harfiahnya, menyamping/dari samping, karena dia bukan dari ahli waris.
         Seirama dengan penggelaran itu, muncullah kebiasaan sesajenan yang membedakan pimpinan agama dengan Kepala pemerintahan; Jika seseorang ingin berhubungan dengan pimpinan agama Raja Malim, maka sesajenannya adalah kambing warna putih (Hambing sibontar), tetapi jika ingin berhubungan dengan Kepala pemerintahan Raja Uti, maka sesajenannya adalah kambing warna hitam (Hambing silintom).
         Perkiraan Sorimangaraja Batak II tentang perang itu menunjukkan kebenarannya; dan bersama anaknya Sinambeuk, mati terbunuh dalam perang. Pada zaman itu sudah menjadi kebiasaan, bahwa semua keturunan raja yang kalah perang harus dibunuh agar tidak muncul kerajaan baru yang akan balas dendam; maka demi keselamatan, setelah Raja Sorimangaraja Batak II terbunuh, para keluarga raja melarikan diri. Konon kabarnya, setelah beberapa generasi kemudian, terbetiklah berita, bahwa:
  • Keturunan Si Raja Bahar bermukim di Desa Garo (Garo = Pisang) Karo.
  • Keturunan Si Raja Batak, anak dari Sinambeuk, bermukim di Toba.
  • Keturunan Si Raja Pakpak, bermukim di Dairi (Dai Ri).
  • Keturunan Jonggol ni Tano yang memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante (Mantela) bermukim di Aceh Pidie (apakah Pidie dari kata Pudi ? ).
  • Keturunan Nagaisori (Raja Mangisori), bermukim di Daerah Singkil & Tapak Tuan.
          Dan perkembangan agama Islam di Barus sangat pesat. Orang Batak yang pertama masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru Marnangkok; dan banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus. Setelah penaklukan Kerajaan Barus, penguasa negeri itu dan para saudagar Islam negeri baru berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak meyebutnya Pansur.(baca: Paccur).
III. Kerajaan Pea Langge
             Pada masa jabatan Raja Malim/Raja Uti II, para nabi bersepakat untuk mendirikan kembali Negeri Batak disebelah utara Barus, yang mereka namakan Negeri Pea Langge ; penduduk setempat menyebut Raja Uti dengan sebutan Raja Uteh.
             Raja pun silih berganti ; Raja Malim/Raja Uti II digantikan oleh Raja Malim/Raja Uti III ; Raja Malim /Raja Uti III digantikan oleh Raja Malim /Raja Uti IV.
          Pada masa Raja Malim / Raja Uti IV, Raja Negeri Fansur yang mengalahkan Kerajaan Barus menyerbu Kerajaan Batak Pea Langge. Dan setelah Ompu Bada (Ompu Bada = Panglima Perang) mati terbunuh, maka takluklah negeri itu. Raja Malim/Raja Uti IV dan pengikutnya menyingkir ke suatu pulau di lautan Hindia, disebelah barat Pea Langge.; sesuai dengan bentuk pulaunya, dinamakanlah pulau itu, Pulo Munsung Babi. (Sekarang dinamakan Pulau Babi, Kecamatan Pulau Banyak).
        Sejak itu, raja Malim / Raja Uti IV dengan para penggantinya Raja Malim/Raja Uti V, VI dan Raja Malim/Raja Uti VII, disebutlah dengan sebutan Raja dari Pulau Munsung Babi.
* Nama Raja Uti II dan para  penggantinya, belum dapat diketahui (mohon info).


IV. Kerajaan Sianjurmulamula
       Sebagaimana telah disampaikan diatas,bahwa sebelum Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dia sempat mengalihkan kekuasaannya kepada Raja Malim Mutiaraja.
       Setelah Kerajaan Batak Barus jatuh ketangan musuhnya, didalam situasi yang serba semraut, Mutiaraja memerintahkan si Raja Batak keponakannya/berenya itu  ( berumur 19 tahun) agar melarikan diri kesuatu tempat yang ditunjukkannya dan merahasiakan bahwa dia adalah keturunan raja dari Barus ; dengan membawa seruas bambu yang berisikan dua gulungan surat (dokumen), terdiri dari;
  • Pustaka Tombaga Holing yang berisikan ilmu kemiliteran,
  • Pustaka Surat Agong yang berisikan ilmu Tata Negara.
      Dikemudian hari, para pencerita membuat pesan itu menjadi cerita mitos, maka muncullah mitologi si Raja Batak turun dari langit didalam seruas bambu.
Madekdek sian langit, mapultak sian bulu
   Selanjutnya, berangkatlah si Raja Batak menuju tempat yang dimaksudkan oleh Mutiaraja pamannya itu; susah payahnya diperjalanan naik gunung turun lembah.
    Di suatu hari, dalam kondisi capek kelelahan, istirahatlah dia disuatu tempat, lalu duduk diatas sebongkah batu datar/batu ceper yang dinamakannya batu peristirahatan (Batu Pangulonan) akan tetapi dikemudian hari, dinamakanlah Batu Hobol, ada juga yang menyebut Batu Hobon. Setelah tenaganya pulih kembali, dilanjutkanlah perjalanan; ketika letih dan kehausan; tak disangka ditemukannya sebuah umbul air, lalu minumlah dia melepas dahaga, maka dinamakannyalah umbul air itu Aek sipaulak hosa loja yang berarti: umbul air pemulih tenaga.
    Sampailah ia ditempat yang dituju, yaitu sebuah Gua batu yang dipesankan oleh pamannya Mutiaraja (Raja Malim/ Raja Uti I); dan dinamakannyalah gua itu Liang Raja Uti. (Liang = Gua).
       (Batu pangulonan, Aek sipaulak hosa loja, Gua Raja Uti, maupun Pusuk Buhit, terletak di daerah Kabupaten Samosir sekarang).

          Konon menurut berita, selang beberapa waktu setelah jatuhnya Barus, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, diam-diam dalam rahasia, dia bersama puterinya, datang dari Barus ke Toba mencari si Raja Batak keponakanya itu; mereka berjumpa dan bermalam di Gua batu/Liang Raja Uti selama dua malam. Dalam pertemuannya itu, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, mengamanahkan kepada Si Raja Batak untuk mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak.

Bendera Kerajaan Batak
(Dinasti Raja raja Batak Barus, Raja Malim/Raja Uti I s/d VII)
 Keterangan :
 Hitam     = Lambang kerahasiaan / Hahomion.
Putih  = Lambang Kesucian / Habadiaon.
Merah  = Lambang kekuatan / Hagogoon
Bintang kuning  = Lambang Kekuasaan tertinggi.
V. Kerajaan Bakkara.
        Sebelum   kita  cerita  tentang   kemunculan   kerajaan Batak di Bakkara, bahwa berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan, Raja Manghuntal   lahir pada tahun 1520, dan dinobatkan menjadi Raja Sisingamangaraja I pada tahun 1550 oleh Raja Uti VII di Pulau Munsung Babi.
*. Dalam Sejarah umum, tercatat bahwa Portugis telah menaklukkan negeri Malaka pada tahun 1511, berarti, Raja Manghuntal (Sisingamangaraja I), belum lahir pada waktu itu.           
       Berdasarkan silsilah yang sudah baku dikalangan orang Batak Toba, Raja Manghuntal adalah generasi yang ketujuh dari Si Raja Batak; jika di hitung-hitung satu generasi adalah 25 (dua puluh lima ) tahun,  dalam arti sudah pantas punya anak, maka  Si Raja Batak  tentulah  sudah  lahir, 175 tahun lebih dahulu dari Raja Manghuntal, yaitu sekitar tahun 1345; dan jika Si Raja Batak berumur 19 tahun pada waktu menyingkir dari Barus, maka Si Raja Batak diperkirakan tiba di Toba sekitar tahun 1364.
      Sebagaimana telah disampaikan diatas (di bagian III) bahwa setelah Kerajaan Pea Langge jatuh ketangan musuhnya, Raja Malim/Raja Uti IV bersama para pengikut setianya, menyingkir ke Pulau Munsung Babi. Berita tentang raja-raja Batak yang bermukim di Pulau Munsung Babi (Pulau Babi) terbenam begitu lama tapi exsistensi keberadaannya masih terbesit di Toba.
     Perjanjian Sorimangaraja Batak II dengan Raja Malim Mutiaraja yang ditandai dengan barang pusaka
Tabutabu sitarapullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang
     Lama sesudah itu, setelah beberapa generasi kemudian, sampailah berita kepada raja Manghuntal di Bakkara, bahwa Raja Malim/Raja Uti VII, ada bermukim di Pulau Munsung babi, maka disuatu waktu, berangkatlah raja Manghuntal kesana untuk membicarakan perjanjian yang dibuat oleh leluhurnya Sorimangaraja Batak II.
     Sehubungan dengan niatan itu, Raja Malim /Raja Uti VII, terlebih dahulu meneliti kemampuan Raja Manghuntal (test uji coba termasuk kesaktian). Setelah Raja Malim /Raja Uti VII meyakininya, maka sepakatlah untuk mengembalikan kekuasaan atas Kerajaan Batak kepada Raja Manghuntal (ahli waris), sesuai dengan perjanjian.
     Didalam acara penobatannya pihak Raja Uti disimbolkan, mulai dari Raja Uti I s/d Raja Uti VII, menyerahkan kembali kekuasaan atas kerajaan Batak sesuai perjanjian, dan sebagai tanda pengembalian, secara simbolik, diserahkanlah 7 (tujuh) macam barang pusaka, yaitu:
  1. Piso Solam Debata (Keris Batak) tanda pemegang kekuasaan kerajaan .
  2. Hujur siringis, siungkap mata mual (Tombak, pembuka mata air).
  3. Tumtuman sutora malam, Tali tali harajaon (Mahkota)
  4. Ulos Sandehuliman, siambat api (Kain/Ulos pemadam api permusuhan, bahwa tidak akan ada permusuhan antara Raja/Kepala pemerintahan dengan Raja Malim pimpinan agama).
  5. Lage silintong pinartaraoang omas, lapik panortoran ni Raja (Tikar permadani, alas tempat Raja menari).
  6.  Tabu tabu sitarapullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang (perjanjian).
  7. Gajah sibontar, pangurupi di nadokdok (Gajah putih simbol tanggung  jawab).
      Pada Acara pelantikannya, disebutlah Raja Manghuntal dengan gelaran Sisingamangaraja I (pemula Dinasti Sisingamangaraja); dan setelah pengembalian itu, berakhirlah masa pemerintahan dinasti Raja Uti; maka, dengan demikian, terwujudlah apa yang dicita-citakan/ direncanakan oleh Si Raja Batak bersama Mutiaraja. Kerajaan Batak berdiri kembali dibawah pemerintahan dinasti Sisingamangaraja, berkedudukan di  Bakkara.
                
 Silsilah Raja – raja di Kerajaan Bakkara;
  • Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
  • Singamangaraja III, Raja Itubungna.
  • Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
  • Singamangaraja V, Raja Pallongos.
  • Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk.
  • Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut.
  • Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal.
  • Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan.
  • Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon.
  • Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
  • Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu.
 
(sumber : Sejarah Batak.com : Kerajaan-Kerajaan Batak)

SEJARAH MARGA SIMAMORA

 
 
Tempat Tinggal atau Bonapasogit
Tipang diyakini sebagai Bonapasogit dari Raja Sumba (yang digelari sebagai Sumba Napaduahon) yang merupakan salah satu anak dari Ompu Tuan Sorba Dibanua yang delapan orang itu. Setelah menikahi Boru Pandan Nauli, yaitu putri dari Raja Lontung dari negeri Sabulan, Raja Sumba berangkat menyisir ke arah selatan dan membuka perkampungan disalah satu tempat yang kemudian dinamai Tipang.
Menurut Geografis Pemerintahan, Tipang terletak dalam wilayah Kecamatan Bakti Raja (Singkatan dari Bakkara, Tipang, dan Janiraja) Kabupaten Humbang Hasundutan dan saat ini dihuni oleh kira-kira 450 kepala keluarga dan 1.725 jiwa. Tadinya Tipang terdiri dari tiga desa, yaitu: Desa Tipang Dolok, Tipang Habinsaran, dan Tipang Hasundutan, tapi saat ini hanya tinggal satu desa saja.

Berbatas sebelah timur dengan danau Toba, sebelah selatan dengan Bakkara, sebelah barat dengan sisi terjal bukit arah Siria-ria dan sebelah utara dengan Janjiraja, disanalah terletak Negeri Tipang yang indah permai. Sama halnya dengan semua tempat yang terletak dibibir danau Toba yang amat permai pemandangan alamnya, tapi bagi sebagian orang khususnya marga Simamora dan Sihombing, Negeri Tipang adalah tempat yang merupakan bonapasogitnya.
Sejarah Marga atau Silsilah
Silsilah marga Simamora kalau kita urut mulai paling atas adalah sebagai berikut, Silsilah Marga Batak mempunyai 2 orang putra, yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon, dari anak yang kedua ini lahirlah tiga orang putranya. Dari ketiga putranya itu hanya anaknya yang pertama yaitu Tuan Sorimangaraja yang tinggal di Bonapasogit Pusuk Buhit (tempat yang diyakini sebagai asal mula suku batak).

Tuan Sorimangaraja mempunyai 3(tiga) orang istri yaitu :
  1. Si Boru Anting Malela (Nai Rasaon), putri dari Guru Tatea Bulan. Si Boru Anting Malela melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Djulu (Ompu Raja Nabolon), gelar Nai Rasaon. 
  2. Si Boru Biding Laut (Nai Ambaton), juga putri dari Guru Tatea Bulan. Si Boru Biding Laut melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Jae (Raja Mangarerak), gelar Nai Ambaton.
  3. Si Boru Sanggul Baomasan (Nai Suanon). Si Boru Sanggul Haomasan melahirkan putra yang bernama Tuan Sorbadibanua, gelar Nai Suanon.
Tuan Sorbadibanua, mempunyai dua orang istri dan memperoleh 8 orang putra.
Dari istri pertama (putri Sariburaja):
  1. Si Bagot Ni Pohan, 
  2. Si Paet Tua,
  3. Si Lahi Sabungan,
  4. Si Raja Oloan,
  5. Si Raja Huta Lima.
Dari istri kedua (Boru Sibasopaet, putri Mojopahit) :
  1. SI RAJA SUMBA
  2. Si Raja Sobu,
  3. Toga Naipospos.
Dari perkawinan dengan Boru Pandan Nauli, Raja Sumba dianugerahi dua orang putra, anak yang tertua yaitu SIMAMORA yang mempunyai keturunan Purba, Manalu, dan Debataraja dan SIHOMBING yang mempunyai keturunan Silaban, Nababan, Hutasoit, dan Lumban Toruan. Ketujuh keterunan tersebut secara terus-menerus menempati TIPANG hingga saat ini dan pengaturan pembagian warisan sawah dan lading diatur dengan musyawarah dan damai secara turun-temurun.


Pusaka Peninggalan
Tipang adalah nama dari seseorang yang disebut “Duhut-Duhut Simardimpos dohot Tano Simarhilop” yang topografinya dibagi dua, yaitu Tano Birong yang ditempati oleh Simamora dan keturunannya dan Tano Liat yang ditempati oleh Sihombing dan keturunannya.
Tipang adalah tempat yang banyak menyimpan sejarah atau Pusaka Peninggalan Raja Sumba dan tempat sakti.

BATU PAUSEANG
Disuatu tempat, yakni di bagian belakang atau sebelah selatan dari huta dari marga Hutasoit dan sebelah timur dari pusat keramaian Tipang, terdapat tiga “Batu Pauseang” yang diterima oleh Raja Sumba dari Raja Lontung.

Ketiga batu tersebut ukurannya kira-kira sebesar bola kaki yang diletakkan begitu saja dan hingga saat ini tidak terawat sama sekali dan hampir hilang ditutupi semak belukar yang rimbun.

Ketiga batu tersebut, yaitu:
  1. Batu Siboru Gabe : Asa gabe dihajolmaon, gabe naniula (melambangkan kemakmuran atas sawah lading yang dikerjakan oleh seluruh keturunannya).
  2. Batu Siboru Torop: Asa torop maribur huhut sangap angka pinomparna (yang melambangkan supaya berkembang biak / beranak pinak dan sukses seluruh keturunannya).
  3. Batu Siboru Sinur: Asa sinur ma pinahan (melambangkan kemakmuran atas ternak yang dikembangbiakkan oleh seluruh keturunannya)
Ketiga Batu Pauseang tersebut pada masa dahulu, digunakan sebagai tempat sacral terlebih bila musim tanam tiba. Ketika masa mencangkul (ombahon) selesai dan tiba saatnya menanam padi, maka beberapa jenis padi dibawa ke Batu Pauseang, untuk didoakan dan diletakkan disana selama beberapa hari. Bila harinya tiba tersebut, para ibu akan datang kesana dan akan mendapati tanda bahwa jenis padi tertentulah yang akan ditanami di seluruh Tipang pada musim tanam itu.

NAMARTUA GUMINJANG
Tempat mengisyaratkan suara ogung doal. Bila berbunyi maka akan ada orang yang Saur Matua

NAMARTUA SIDIMPUAN
Tempat mengisyaratkan suara ogun oloan, pangoaran dan gordang bolon

NAPOSO LAHI-LAHI ULIAN MATANIARI
Suara dan tanda yang terbentang di Tipang.

BATU PARTONGGOAN
Tempat berdoa untuk menolak mara bahaya.

BARU JAGAR-JAGAR
Batu berupa patung dimana tidak boleh berdusta.

BATU MARAKTUK
Sigala-gala binaga (sebagai syarat akan terjadi peristiwa besar).

GUA JARINA
Gua yang dalam, tempat berdoa dan mensucikan diri.

BATU SADA
Tempat penyimpanan sari-saring (tulang-tulang) turun-temurun.

PUSAKA TANO HAJIRAN
Pusaka yang sangat ampuh untuk menolak bala (alogo nasohapundian, udan nasohasaongan dohot napajolo gogo).

AIR TERJUN

Tempat bersemedi untuk pensucian diri. 
 

Senin, 20 April 2015

Mengungkap Misteri Asal Usul Nenek Moyang Bongso Batak

HoRaS HaBaTaKoN ! 

Misteri asal usul nenek moyang orang Batak yang hidup di Sumatera Utara, dan sebagian wilayah Aceh Singkil, Gayo, serta Alas, kini sudah mulai diketahui. Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia.

Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen”

Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.

“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.

Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.

Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.


Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). 


  
Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.

Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.

“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.

Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo.

Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.

“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.

Menurut sejumlah literatur, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.

Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula-hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi.


“Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak,”