Jumat, 15 Mei 2015

SEJARAH DAN LEGENDA POMPARAN SI RAJA BATAK


Batak (jaman dahulu kala) mempercayai adanya penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Pencipta tersebut adalah Debata Mulajadi Nabolon. Penciptaannya tak beda jauh dengan penciptaan seperti yang sering kit abaca dalam Alkitab ( Kejadian ).
Tetapi khusus untuk penciptaan manusia, sangatlah jauh berbeda. Menurut legenda Batak, manusia bermula setelah perkawinan antara si Boru Deak Parujar (salah satu dari 6 anak perempuan Bataraguru ) dengan Raja Odapodap, mereka dijodohkan oleh Debata Mulajadi Nabolon sewaktu mereka masih berdiam di Banua Ginjang/Surga (langit papituhon ). Karena itulah dahulu ada “umpama Batak “ : Timus gabe ombun, ombun jumadi udan, mula ni tano dohot jolma ima sian si Boru Deak Parujar.
Dalam kepercayaan Batak, langit terdiri dari 7 lapis yaitu :
1. Langit Pertama, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu melakukan hal-hal yang terbalik dari aturan ( suhar pambaenan )
2. Langit Kedua, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu mencuri, merampok.
3. Langit Ketiga, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu panjang lidah, suka membicarakan orang lain ( siganjang dila ).
4. Langit Keempat, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya memfitnah, lintah darat. Di sini juga tempat hukuman roh orang yang bunuh diri.
5. Langit Kelima, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya suka menolong orang yang tidak punya ( dermawan ).
6. Langit Keenam, adalah tempat pertimbangn/ putusan Bataraguru terhadap manusia yang akan lahir. Menurut leluhur Batak, manusia yang mau lahir ke dunia akan meminta dan bertanya lebih dahulu kepada Bataraguru bagaimana hidupnya nanti setelah lahir.
( Dolok Martimbang hatubuan ni horahora, Debata na di ginjang suhat-suhat ni hita jolma ).
7. Langit Ketujuh, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya baik, suci/percaya, tempat Mulajadi Nabolon, dan inilah surga.
Setelah perkawinan si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-Odap, lahirlah anaknya kembar dampit ( marporhas ). Laki-laki dinamai RAJA IHAT MANISIA dan yang perempuan dinamai BORU ITAM MANISIA. Mereka bertempat tinggal di SIANJUR MULA-MULA.
Pada saat penghuni langit ( Banua Ginjang ) datang mengunjungi mereka, Si Boru Deak Parujar dan Raja Odapodap ikut naik ke langit (Banua Ginjang ), tetapi Debata Asiasi dan si Boru Naraja Inggotpaung tinggal bersama Raja Ihat Manisia dan si Boru Itam Manisia di Sianjur Mula-Mula.
Setelah besar, Raja Ihat Manisia kawin, tetapi tidak jelas siapa dan darimana istrinya, apakah kembarannya atau anaknya si Boru Naraja Inggotpaung, yang jelas mereka mempunyai anak 3 orang yaitu : Raja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Aji Lampas- Lampas.
Karena perebutan harta dan selisih paham, ketiga bersaudara itu bertengkar, akhirnya si Patundal Nabegu dan Aji Lampas-Lampas meninggalkan Sianjur Mula-Mula, tidak diketahui kemana perginya.
Inilah permulaan Sejarah Batak yang merupakan keturunan dari Raja Ihat Manisia.
Kalau Raja Ihat Manisia sebagai manusia pertama dalam sejarah dan legenda Batak, lantas bahagimana hubungannya dengan si RAJA BATAK?
Menurut Legenda (mungkin juga Sejarah ) antara RAJA IHAT MANISIA dengan si RAJA BATAK terdapat 5 generasi. Jelasnya anak Raja Ihat Manisia seperti diterangkan pada bagian Pertama ada 3 orang, yaitu Raja Miokmiok, Patundal Nabegu dan Ajilampaslampas (sebagian mengatakan Aji Lapaslapas). Setelah perpisahan ketiga bersudara itu kawin (tidak diketahui dengan siapa ) dan mempunyai anak ENGBANUA. Anak Engbanua ada 3 orang yaitu : Raja Ujung, Eng Domia (Raja Bonang-bonang) dan Raja Jau.
Konon, Raja Ujung adalah leluhur orang Aceh, Raja Jau adalah leluhur orang Nias, sedangkan Eng Domia adalah leluhur orang Batak, artinya menurut legenda ini maka orang ACEH adalah saudara tua (abang ) orang BATAK dan orang NIAS adalah adik orang Batak, tetapi ada juga pendapat bahwa leluhur orang Nias adalah RAJA ISUMBAON (anaknya si Raja Batak ).
Raja Bonangbonang mempunyai seorang anak yang dinamai RAJA TANTAN DEBATA. Dari perkawinan Raja Tantan Debata lahirlah si RAJA BATAK.
Si Raja Batak kawin dengan putri dari SIAM, sebagian mengatakan kawin dengan manusia jadi-jadian, tetapi kalau kita berpijak pada sejarah ada benarnya bahwa istri si Raja Batak berasal dari Siam (Benua Asia Kecil ). Anak si Raja Batak ada 2 orang, yaitu GURU TATEA BULAN dan RAJA ISUMBAON. Guru Tatea Bulan sering juga disebut dengan ILONTUNGAN alias si MANGARATA, alias TOGA DATU.
Semasa remaja, Guru Tatea Bulan mendapat warisan benda-benda pusaka pemberian “tulangnya” dari Siam yaitu berupa : tombak siringis, batu martaha dan cincin yang cocok pada semua jari tangannya.
Guru Tatea Bulan kawin dengan SIBASO BURNING, yang menurut versi keturunan Borbor Marsada adalah anak gadis manusia primitive yang sudah ada di daerah Sumatera, tetapi sebagian versi mengatakan bahwa Sibaso Burning adalah putri jadi-jadian (boru ni homang ), karena kemampuan kesaktiannya, Guru Tatea Bulan dapat mengajari istrinya menjadi orang beradab. Dari perkawinannya mereka mempunyai 5 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Mereka adalah : Raja Biakbiak (Raja Miokmiok), Tuan Saribu Raja (Ompu Tuan Rajadoli), Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja, sedangkan putrinya adalah : Si Boru Biding Laut (diyakini Nyi Roro Kidul), Siboruparema, Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan, sedangkan seorang lagi yaitu NANTINJO konon adalah Waria (Banci ) pertama dalam Legenda dan Sejarah Batak.
Menurut cerita, Tuan Saribu Raja dan Siboru Pareme lahir kembar dampit (marporhas).
Raja Isumbaon adalah manusia misterius, tidak ada yang tau cerita dan keberadaannya, tetapi kemudian disebutkan dari perkawinannya lahir 3 orang anaknya yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalidang.
Dari cerita di atas jelas terlihat bahwa marga pertama dalam Silsilah/Tarombo orang Batak adalah marga LIMBONG dan marga SAGALA.
Pertanyaan akan selalu muncul mengikuti logika, Raja Batak mempunyai 2 orang anak, tidak disebutkan mempunyai anak perempuan, pertanyaan yang paling lumrah adalah : Anak Perempuan siapa yang menjadi isteri mereka, kalau memang manusia juga, berarti pada masa itu sudah ada manusia lain selain keluarga si Raja Batak.
Seperti di sebutkan pada Episode II, isteri Guru Tatea Bulan ada yang mengatakan dari kelompok orang primitive yang sudah ada di sekitar Danau Toba, dan pendapat lain mengatakan keturunan makhluk jadi-jadian (boru ni homang ).
Pertanyaan seperti itu juga muncul pada masa kekinian setelah orang Batak mengenal agama monotheis ( Kristen dan Islam ), pada zaman penciptaan manusia Adam dan Hawa yang mempunyai anak Kain, Habel dan Set. (baca Kejadian: 4 dan 5 ), lantas siapa dan anak siapa istri Kain dan Set? Ok, hal itu tidak perlu diperdebatkan karena sudah menyangkut masalah keimanan seseorang.
Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon setelah berkeluarga, meminta hak kepada ayahandanya si Raja Batak, tetapi pada masa itu belum banyak harta benda yang bisa diserahkan si Raja Batak kepada kedua anaknya, dan memang juga bukan harta benda yang mereka minta, tetapi “sangap” dan “kesaktian”. “Berikanlah kepada kami yang belum pernah kami lihat dan yang belum pernah kami ketahui”, kira-kira demikianlah permintaan Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Si Raja Batak walaupun punya kesaktian, tetapi dia tidak bisa memberikan apa yang diminta anaknya, karena itu dia meminta kepada kedua anaknya agar bersabar dan sama-sama memohon (martonggo) kepada Mulajadi Nabolon Debata Natolu agar diberikan “ sahala tua sahala harajaon .“
Debata Natolu Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan doa mereka, maka dikirimkanlah 2 (dua) buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama tulisan arang (tombaga agong ) yang menjadi bagian Guru Tatea Bulan berisi tentang ilmu: Perdukunan/Pengobatan, Kesaktian, Seni pahat , Kekuatan, juga ilmu beladiri (parmonsahon ) dan ilmu menghilang ( pangaliluon ).
Pada gulungan kedua surat tombaga holing berisi tentang ilmu : Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang.
(Tentang Surat Batak ini sedikit ada kontraversi, apakah memang sudah ada pada saat si Raja Batak atau beberapa generasi berikutnya, dan apakah diturunkan oleh Debata Natolu Mulajadi Nabolon kepada si Raja Batak atau diciptakan oleh manuasia. Hal ini masih menjadi simpang siur.
Salah seorang keturunan Guru Tatea Bulan adalah Raja Biak-Biak (Raja Miokmiok), kelahirannya disertai guruh, hujan lebat dan angin puting beliung, namun setelah lahir alangkah kaget dan kecewanya si Guru Tatea Bulan dan istrinya si boru Baso Burning, karena yang lahir tidak sempurna sebagai manusia, tidak punya kaki dan tangan. Dia tidak bisa duduk, hanya bisa berguling-guling, karena itu Raja Biak-biak dinamai juga Raja Gumeleng-geleng (guling-guling).
Pada suatu waktu, Mulajadi Nabolon Debata Natolu turun ke bumi (Sianjur Mula-Mula) dan mencobai iman (haporsean) Guru Tateabulan. Mulajadi Nabolon meminta agar Guru Tatea Bulan menyerahkan anaknya Saribu Raja untuk dipotong dan dipersembahkan.
Guru Tatea Bulan mengatakan, “ Datangnya dari Tuhan (Mulajadi Nabolon Debata Natolu ), kalau Mulajadi Nabolon meminta, saya tidak berhak menolak”. Mendengar itu Raja Biak-biak berpikir bahwa dialah yang akan dipotong/dibunuh, dibandingkan Saribu Raja yang sempurna, dia tidak ada harganya, maka dengan tergesa-gesa dia meminta kepada ibunya agar menyuruh ayahandanya menyembunyikan dia. Guru Tatea Bulan pun menyembunyikan dia di Gunung/Dolok Pusuk Buhit.
Saribu Raja jadi dipotong dan dipersembahkan, tetapi karena Guru Tatea Bulan ikhlas dan Saribu Raja tidak menolak menjadi korban persembahan, Mulajadi Nabolon menghidupkan dia kembali serta memberikan berkat (pasu-pasu).
Mulajadi Nabolon datang dan pergi selalu dari puncak Dolok Pusuk Buhit, maka ketika dia mau kembali ke banua ginjang melalui Dolok Pusuk Buhit, dia melihat Raja Biak-biak ada di situ. Raja Biak-biak memohon kepada Mulajadi Nabolon agar disempurnakan, Mulajadi Nabolon pun mengabulkan permohonan Raja Biak-biak, diberi tangan, kaki, bahkan diberi sayap, ekor dan mulutnya seperti (maaf) moncong babi. Pada saat itu Mulajadi Nabolon berkata : “ Walau bentuk tubuhmu tidak sempurna seperti manusia biasa, tetapi kamu punya keistimewaan, tidak akan pernah tua, tidak akan mati dan kamu akan menjadi perantara manusia yang akan memberikan persembahan kepadaku, kuberi kamu gelar RAJA HATORUSAN atau juga RAJA UTI.”
Dengan kemampuannya Raja Biak-biak/Raja Miok-miok/Raja Gumeleng-geleng/ Raja Hatorusan/ Raja Uti dapat pergi kemanapun sesuka hatinya, namun pada awalnya dia pulang ke Sianjur Mula-Mula, kemudian ke Aceh dan ke bagian selatan Tapanuli ( Barus ).
Telah disebutkan di atas bahwa Tuan Saribu Raja lahir kembar dampit dengan Siboru Pareme, di kemudian hari rasa cinta tumbuh diantara keduanya dan mereka pun melakukan perkawinan incest (sedarah terlarang), inilah mungkin salah satu peringatan bagi masyarakat Batak sekarang apabila mempunyai anak yang lahir kembar dampit selalu dipisahkan pengasuhannya agar tidak terjadi sebagaimana antara Tuan Saribu Raja dengan Siboru Pareme.
Dari perkawinan antara Tuan Saribu Raja dengan Siboru Pareme, lahirlah serang anak laki-laki yang kemudian diberi nama SI RAJA LONTUNG. Si Raja Lontung lahir di tengah hutan rimba yang belum pernah didatangi manusia, karena Si Boru Pareme dibuang oleh saudaranya karena malu dengan perbutannya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Si Raja Lontung adalah keturunan si Boru Pareme dengan Babiat Sitelpang yang selalu datang membawa makanan kepada Si Boru Pareme, karena Si Boru Pareme menolong mengambilkan tulang yang tersangkut di mulut harimau itu. Kalau pendapat ini benar, timbul pertanyaan : Mengapa dan apa penyebab Si Boru Pareme berada di tengah-tengah hutan belantara? Karena tidak mempunyai alasan yang kuat, maka pendapat lebih cenderung mengatakan bahwa Si Boru Pareme memang dibuang oleh saudaranya ke hutan belantara ( tombak longo-longo, harangan rimbun rea parhais-haisan ni babiat paranggun-anggunan ni homang) karena telah diketahui saudara-saudaranya telah melakukan perbuatan terlarang, dan di hutan bertemu dengan Babiat Sitelpang seekor Harimau dimana ketika itu si Boru Pareme menolong Harimau mengambilkang tulang yang tersangkut di mulut harimau itu dan mulai saat itu Babiat Sitelpang turut dalam menjaga si Boru Pareme hingga lahirnya Raja Lontung sampai besar. Sedangkan si Saribu Raja menurut cerita pergi setelah adik bungsunya Lau Raja memberitahukan kepada abangnya Saribu Raja kalau abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja berniat membunuhnya karena telah melakukan hal yang dianggap tidak pantas.
Tuan Saribu Raja adalah orang yang tidak betah berdiam diri di suatu tempat, dia selalu berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dan di daerah baru itu beberapa kali dia kawin lagi. Adalah Nai Mangiring Laut, salah satu istrinya, dikatakan adalah manusia peliharaan lelembu (homang), dari perkawinannya dengan Nai Mangiring Laut lahirlah SI RAJA BORBOR. Setelah anaknya lahir Tuan Saribu Raja membawa mereka ke suatu tempat di luar Sianjur Mula-Mula, tempat itu sekarang dikenal dengan PARIK SABUNGAN.
Sampai saat ini masih ada kontroversi diantara keturunan Tuan Saribu Raja, siapa yang lebih dahulu lahir antara SI RAJA LONTUNG dan SI RAJA BORBOR. Kalau dalam sejarah dan Tarombo Borbor Marsada, yang lebih duluan lahir adalah si Raja Borbor yang otomatis menjadi siabangan (sihahaan), konon menurut cerita sewaktu Nai Mangiring Laut mengandung, si Boru Pareme datang menggoda saudaranya Tuan Saribu Raja dan terjadilah hubungan terlarang.
Di lain tempat (di daerah Barus sekarang), Tuan Saribu Raja juga mempunyai isteri yang tidak jelas diketahui asal-usulnya, sebagian mengatakan putri Tamil, sebagian lagi mengatakan keturunan harimau, dari perkawinannya lahir anaknya laki-laki yang dinamai RAJA GALEMAN atau digelari juga dengan SIBABIAT.
Dari cerita di atas jelaslah bahwa keturunan Tuan Saribu Raja ada 3 orang yaitu : LONTUNG, BORBOR dan SIBABIAT. Dari ketiga orang tersebut, dikemudian hari berkembang marga-marga yang sekarang kita kenal dengan kumpulan marga : NAIMARATA, BORBOR MARSADA dan LONTUNG MARSADA.
Telah diterangkan di atas, Guru Tatea Bulan mempunyai 4 orang anak perempuan, selain Si Boru Pareme yang dua lagi adalah SIBORU ANTING HAOMASAN dan SIBORU SINTA/SANGGUL HAOMASAN. Kedua wanita ini kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA anak dari Raja Isumbaon. Isteri Tuan Sorimangaraja sendiri ada 3 orang, yaitu Si Boru Paromas/Si Boru Anting Malela, Si Boru Anting Haomasan, dan Si Boru Sinta/Sanggul Haomasan. Sedangkan Si Boru Biding Laut diperkirakan adalah Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan. (Baca : Asal Usul Nyi Roro Kidu)
Pada masa itu, keturunan si RAJA BATAK terbagi atas 2 kelompok, keturunan Guru Tatea Bulan disebut dengan ILONTUNGON sedangkan keturunan dari Raja Isumbaon disebut SUMBA.
Dikemudian hari, dari 2 kelompok tadi berkembang menjadi 5 kelompok yang menjadi INDUK MARGA-MARGA BATAK yang ada sekarang, dengan catatan bahwa keturunan dari Raja Asi-asi, Sangkar Somalidang, Toga Laut dan keturunan Saribu Raja dari isteri ketiga yaitu Raja Galeman (Sibabiat) belum termasuk, karena keturunan mereka tidak jelas keberadaannya dan patut diduga ada di daerah Asahan, Langkat, Karo, Deli Serdang, Binjai dan di Aceh ( Tapak Tuan, Takengon dan Kutacane).
Salah seorang boru dari Guru Tatea Bulan ialah NANTINJO yang dikatakan sebagai BANCI/WARIA pertama dalam sejarah dan legenda orang Batak. Orang mengatakan bahwa dia sebenarnya berjenis kelamin laki-laki tetapi pembawaan dan tingkah laku layaknya perempuan sebagaimana waria yang kita kenal sekarang. Guru Tatea Bulan dan saudara-saudaranya memaksa dia supaya berumah tangga, pada mulanya Nantinjo masih bisa memberi alasan, tetapi kemudian di belakang hari dia tidak bisa lagi mengelak anjuran dan paksaan abangnya. Dia masih berusaha untuk menolak dengan meminta “sinamot” sebanyak satu perahu penuh emas, dengan harapan tidak ada yang sanggup memberikannya, ternyata dia keliru. Ada saja orang yang datang melamar dia dengan “sinamot” sebanyak yang dia minta, Nantinjo tidak bisa mengelak, diapun dibawa oleh “suaminya” menyeberangi danau ke tempat mertuanya. Di perjalanan, Nantinjo berpikir bahwa sesampai di tempat mertuanya “dunia” akan geger apabila masyarakat mengetahui cacatnya. Maka dengan putus asa, dia berdoa (martonggo) ke Boru Saniangnaga dan Mulajadi Nabolon Debata Natolu : “ O ale ompung Mulajadi Nabolon, Debata Natolu na di Banua Ginjang dohot ho Boru Saniangnaga pangisi ni Banua Toru, ompuompu ni hunik nama au tinuhor sian onan, dang bulung ni dulang dang bulung ni rias, ompu ni hinalungun soada tudosan, napaila damang molo tarboto tihas, tagonanma langge padopado sikkoru, tumagonan ma mate daripada mangolu, buatton ma au begu luahon au sombaon ai sudena on soboi be hutaon. “ Setelah berkata demikian, Nantinjo melompat ke tengah danau dan tenggelam.
Pada saat berangkat dari Sianjur Mula-Mula, dia dibekali dengan alat tenunnya yang selalu dia pakai semasa “gadisnya” bersama “buluhot” (pangunggasan yang terbuat dari bambu), setelah Nantinjo tenggelam, semua peralatan itu mengapung sehingga orang yang menemukan mayat Nantinjo juga menemukan semua peralatan tenun tersebut dan membawanya ke darat. Nantinjo dimakamkan di Malau bersama semua peralatannya, dikemudian hari dari makamnya “buluhot” tersebut tumbuh bambu besar (bulu godang) yang ada sampai saat ini di Tiga Malau dekat Simanindo, dan tempat tersebut sampai sekarang dianggap sebagai tempat keramat. (Baca : SEJARAH BORU NAN TINJO).
Telah diterangkan di atas bahwa Raja Isumbaon ada 3 orang yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri, 2 orang diantaranya adalah putri Guru Tatea Bulan yaitu Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan. (Kalau jaman kekinian tentunya itu terlarang, karena dia mengambil isteri dari putri Bapatuanya, tetapi pada masa itu karena memang penduduk disekitar danau Toba masih sangat jarang, hal tersebut adalah lumrah). Masih menjadi kontraversi karena berbagai versi dimana versi umum dikatakan istri Tuan Sorimangaraja adalah 3 Si Anting Homasan yang dikenal si Boru Paromas (NAIAMBATON), si Boru Biding Laut (NAIRASAON), dan si Boru Sanggul Haomasan (NAISUANON), dimana tidak diketahui asal usul si Boru Sanggul Haomasan, namun menurut sumber ini dikatakan boru Guru Tatea Bulan hanya 4 sesungguhnya adalah 5 dimana siakkangan adalah si Boru Biding Laut, dan Si Boru Sanggul Haomasan adalah boru ni Guru Tatea Bulan, sedangkan si Boru Paromas/Si Boru Anting Malela tidaklah sama dengan Si Boru Anting Haomasan boru ni Guru Tatea Bulan melainkan si Boru Anting Malela/si Boru Paromas ini bukanlah boru dari Guru Tatea Bulan namun dari pihak lain yang belum diketahui informasinya (informasi ini bisa kita lihat dari tarombo ni Borbor atau lagu tarombo ni Borbor).
Dari isteri pertama Tuan Sorimangaraja dia mempunyai anak yang dinamai TUAN SORBA DIJULU (NAI AMBATON) dan dari dari isteri kedua juga seorang, TUAN SORBA DIJAE (NAI RASAON), dari isteri ketiga Tuan Sorimangaraja mempunyai anak dan diberi nama TUAN SORBA DIBANUA (NAI SUANON).
Ketiga isterinya dengan panggilan nama anaknya lebih terkenal daripada Tuan Sorimangaraja sendiri, hal ini terjadi karena Tuan Sorimangaraja adalah orang tidak betah berdiam diri, dia berkelana dari satu daerah ke daerah lain sambil memberikan pengobatan kepada orang-orang yang memerlukan kepintarannya.
Isteri ke 3 Tuan Sorimangaraja yaitu Siboru Sanggul Haomasan lebih duluan melahirkan daripada isteri ke 2 (Si Boru Anting Haomasan), karena itu Si Boru Anting Haomasan selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”. Dalam “andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata putus asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon Debata Natolu belum memberikan Si Boru Anting Haomasan keturunan untuk membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna. Tentunya sekarang pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami, kendati demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran untuk berpoligami.
Demikianlah Si Boru Anting Haomasan, setiap hari sebelum matahari terbit, dia sudah pergi ke pinggir danau, siang hari bernaung di bawah pohon besar “beringin na mardangka tu langit”, di malam hari selalu menyendiri “songon tandiang na hapuloan”. Tidak pernah terlihat ceria di wajah Si Boru Anting Haomasan.
Sebagaimana diceritakan bahwa Siboru Biding Laut lama tidak diberikan keturunannya, dalam keputus asaannya di menceburkan diri ke danau, tetapi dia tidak tenggelam. Tubuhnya terombang ambing di danau kian kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya terdapar di daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke arah Dolok Pusuk Buhit.
Ternayata Tuan Sorimangaraja sedang mencarinya di sekitar Sianjur Mula-Mula, karena tidak ketemu, diapun menyeberangi danau sambil “martonggo” agar Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Si Boru Anting Haomasan.
Doanya terkabul, diseberang danau dia menemukan Si Boru Anting Haomasan dalam kebingungannya, dia membawa isterinya kea rah “habinsaran”. Disuatu tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan (mamukka) pemukiman bagi mereka.
Tetapi memang dasarnya Tuan Sorimangaraja yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun meninggalkan perkampungan mereka, berkelana entah kemana.
Anak Tuan Sorimangaraja, si Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang tanpa pengasuhan ayahnya, demikian juga dengan si Rasaon yang kemudian dilahirkan dari rahim Si Boru Anting Haomasan. Mereka tumbuh jadi pemuda yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja sangat jarang bertemu dengan mereka, demikian juga dengan orang-orang yang ada di sekeliling tempat mereka tinggal, maka ketika ada yang bertanya siapa pemuda-pemuda yang gagah tersebut, maka yang lain selalu menjawab : anaknya Nai Ambaton untuk si AMBATON, anaknya Nai Suanon untuk si SUANON, anaknya Nai Rasaon untuk si RASAON.
Bermula dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih mengenal mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan NAIAMBATON, NAIRASAON dan NAISUANON. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga di kemudian hari. Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak menjadi 5 induk, yaitu :
1. Kelompok LONTUNG, untuk keturunan si Raja Lontung anak Saribu Raja dengan Siboru Pareme;
2. Kelompok BORBOR, untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja ( Malau Raja ) dan si Raja Borbor anak Saribu Raja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang ini sering disebut dengan BORBOR MARSADA.
3. Kelompok NAIAMBATON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama SIBORU ANTING MALELA ( SIBORU PAROMAS ), sekarang ini sering disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Naiambaton).
4. Kelompok NAIRASAON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua Si BORU ANTING HAOMASAN, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
5. Kelompok NAISUANON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga SIBORU SINTA/SANGGUL HAOMASAN.
Dari 5 kelompok marga-marga tersebutlah penyebaran marga-marga yang kita kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan : Bagaimana dengan keturunan RAJA ASI-ASI dan SANGKAR SOMALIDANG? Menurut cerita, kedua anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke arah Dairi dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan merekalah marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada cerita berikut, tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan kebenaran dari cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga, karena pada dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa benar bisa tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah : TIDAK LEBIH DAHULU APRIORI/KONTRA apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan membuat kita tidak akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada cerita tersebut.
Perlu juga disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi keimanan seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk kembali ke “hasipelebegu on “ karena nilai-nilai pada cerita/legenda Batak adalah filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA LONTUNG.
Konon, si Raja Lontung sepeninggal ayahandanya berpetualang, hidup berdua dengan ibunya Siboru Pareme ditengah hutan. Ketika sudah makin dewasa, Siboru Pareme menuruh anaknya untuk berumah tangga dan pergi ke rumah tulangnya ke Sianjur Mula-Mula, dia berpesan agar mencari paribannya untuk dijadikan isteri yang wajah mirip dengan wajah ibunya.
Si Raja Lontung pun mengerti pesan ibunya, diapun berangkat menuju Sianjur Mula-Mula sebagaimana dipesankan karena disanalah tempat tinggal tulangnya. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar pinang dibelah dua dengan ibunya Siboru Pareme. Dia pun berpikir bahwa wanita inilah paribannya yang diceritakan ibunya, maka dengan sangat antusias diapun menyampaikan maksud dan tujuannya (tembak langsung). Si wanita sama sekali tidak memberikan penolakan, karena memang dia adalah Siboru Pareme yang tak lain ibu dari si Raja Lontung. Dia telah merencanakan semua itu, ketika si Raja Lontung pergi seperti yang dia minta untuk menemui tulangnya di Sianjur Mula-Mula, Siboru Pareme mengambil jalan pintas mendahului si Raja Lontung ke suatu tempat yang pasti harus dilalui si Raja Lontung.
Setelah melakukan hubungan terlarang dengan “ito”nya Tuan Saribu Raja, sekarang hubungan terlarang (incest) dilakukan dengan anaknya sendiri (Hampir sama dengan cerita Sangkuriang di daerah Parahyangan).
Raja Lontung mempunyai 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari perkawinannya dengan Siboru Pareme yang kemuadian menjadi marga sampai sekarang, yaitu :
1.Toga Sinaga
2.Toga Situmorang
3.Toga Pandiangan
4.Toga Nainggolan
5.Toga Simatupang
6.Toga Aritonang
7.Toga Siregar
Sedangkan ke 2 putrinya Si Boru Anak Pandan kawin dengan Sihombing dan Siboru Panggabean kawin dengan Simamora, keduanya adalah anak Toga Sumba ( cucu dari Tuan Sorbadibanua/si Suanon).
Sampai sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang anak tertua si Raja Lontung, apakah Toga Sinaga atau Toga Situmorang. Sebagian orang mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi Toga Situmorang lebih duluan kawin dengan boru Limbong, sedangkan Toga Sinaga belum juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata kepada Situmorang supaya dicomblangi (dipadomu-domu) dengan adik isterinya. Situmorang berkata, bisa saja asal kau memanggil abang kepada saya, Sinaga pun setuju. Jadilah Sinaga kawin dengan adik isteri (adik ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara Sinaga dan Situmorang saling memanggil abang pada acara-acara tertentu. Sinaga menjadi abang dari Situmorang karena lebih duluan lahir (anak tertua) dari si Raja Lontung, lazim juga disebut sebagai “ haha partubu”, sedangkan Situmorang menjadi abang karena isteri Sinaga adalah adik dari isterinya, lazim juga disebut sebagai “ haha ni harajaon” karena menjadi si abangan pada acara adat “hula-hula mereka marga Limbong”.
Seperti sudah pernah disebutkan sebelumnya, marga pertama dalam masyarakat Batak adalah Limbong dan Sagala. Kalau dalam penyusunan Tarombo/Silsilah si Raja Batak ditempatkan pada generasi Pertama (I ), maka marga Limbong dan Sagala ada pada generasi III dan Malau (anak Silau Raja ) pada generasi ke IV. Tuan Saribu Raja adalah abang dari Limbong dan Sagala sama-sama generasi III, maka si Raja Lontung adalah generasi ke IV.
Anak–anak si Raja Lontung yang sudah menjadi marga sampai saat ini adalah generasi V. Dengan demikian marga-marga pada kelompok marga Ilontungan dimulai pada generasi ke V.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA BORBOR.
Si Raja Borbor sama halnya dengan si Raja Lontung adalah generasi ke IV. Si Raja Borbor kawin dengan putri Jau. Putri Jau yang dimaksud disini bukanlah si Jau yang menjadi pewaris marga-marga di Nias, tetapi karena tidak diketahui darimana asal usulnya. (sekali lagi membuktikan bahwa pada saat itu sudah ada manusia lain selain keturunan si Raja Batak ).
Banyak versi yang menjelaskan keturunan si Raja Borbor, tetapi dalam konteks ini tidak akan dibahas perbedaan-perbedaan tersebut, karena pada dasarnya perbedaan-perbedaan itu telah menjadikan keturunan si Raja Borbor makin kuat ikatan persaudaraannya dalam IKATAN BORBOR MARSADA.
Anak dari si Raja Borbor sebagaimana yang diakui dalam Ikatan Borbor Marsada (masuk pada generasi ke V) adalah :
1. Raja Hatorusan
2. Tuan Sidamanik
3. Datu Singar Harahap
4. Parapat
5. Matondang
6. Sipahutar
7. Sitarihoran
8. Gurning
9. Rambe
10. Saruksuk
Kendati pada generasi ke V sudah menjadi Marga yang ada sekarang, tetapi ada juga marga pada saat itu menurunkan marga yang lebih muda pada generasi VI, VII dan seterusnya sampai generasi XIV, contohnya marga HUTASUHUT yang merupakan keturunan dari marga HARAHAP adalah generasi XIV dari si Raja Batak.
Sampai dengan saat ini, marga-marga yang tergabung dalam Ikatan Borbor Marsada tetap terjalin persaudaraan yang erat, baik di bonapasogit maupun di parserahan, mereka menganut istilah “sijolojolo tubu” yaitu : si sada lulu anak si sada lulu boru.
Ke dalam kelompok Ikatan Borbor Marsada ini termasuk juga keturunan dari LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, SILAU RAJA (MALAU RAJA ).
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI AMBATON.
Sumber marga-marga yang tergabung dalam Nai Ambaton (Parna) ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa anak Nai Ambaton yaitu Tuan Sorbadijulu mempunyai hanya dua anak yaitu Raja Sitempang dan Raja Nabolon (hanya versi Sitanggang), ada pula yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorba Dijulu mempunyai 5 orang anak 1 perempuan, dan ada pula yang mengatakan 4 anak laki-laki dan 1 perempuan.
Versi yang mengatakan 5 orang menggabungkan Sinahampang sebagai anak langsung dari Tuan Sorbadijulu, sedangkan versi lain mengatakan, Sinahampang adalah anak dari Simbolon Tua. Namun hingga saat ini Nahampun masuk dalam bagian Punguan Simbolon Boru/bere Se-Indonesia dan beberapa diantaranya menjadi pengurus PSBI wilayah, tetapi penulis disini mengetengahkan versi yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu adalah 4 dan 1 perempuan.
Pada kelompok marga Parna, pemakaian marga yang ada sekarang ini dimulai dari generasi ke V dari si Raja Batak, yaitu marga Simbolon, Tamba, Saragi dan Munte. Dan satu borun Tuan Sorba Dijulu adalah PINTA HAOMASAN yang dinikahi oleh RAJA SILAHI SABUNGAN dan memiliki anak bernama SILALAHI RAJA.
Dari ke 4 marga di atas melahirkan marga-marga baru hingga sekarang ini, yang merupakan marga paling banyak dalam satu kelompok marga dan masih teguh menganut paham “sisada lulu anak sisada lulu boru”, artinya belum ada sesama marga dalam kelompok marga Parna yang sudah saling mengawini.
Dari keturunan Simbolon Tua yang sudah menjadi marga ( Simbolon ) lahir marga-marga baru yaitu : Tinambunan, Tumanggor, Turuten, Pinayungan, dan Nahampun. Dan marga turunan dari Tumanggor adalah marga Pasi.
Dari keturunan Tamba Tua yang sudah menjadi marga (Tamba) lahir marga-marga baru setelah merantau yaitu: Siallagan, Turnip, Rumahorbo, Napitu, Sitio, Sidauruk. Khusus Rumahorbo, Napitu, Sitio disebut RONATIO sedangkan padan antara Sidauruk-Turnip-Sitio disebut RAJA SITOLU TALI. Dari salah seorang keturunan Tamba Tua dari cicitnya Datu Parngongo adalah Guru Sohalaosan/Guru Sojoloan atau juga sering disebut Guru Sitindion, dari sini melahirkan marga-marga baru yang sekarang ini lebih sering disebut Siopat Ama, yaitu marga : Sidabutar, Sijabat, Siadari dan Sidabalok. Namun dalam keturunan Tamba Tua ada marga yang kembali menurunkan marga-marga mandiri dari Sijabat, contohnya Gusar yang memakai marga Sitanggang karena padan dengan Sitanggang Bau namun ada yang tetap memakai marga asal leluhurnya Sijabat, keturunan Sijabat di Simalungun ada yang berafiliasi menjadi marga Saragi Dajawak/Saragi Djawak sedangkan Sijabat di Tanah Karo berafiliasi menjadi marga Ginting Jawak. Menurut informasi marga Siambaton pun merupakan keturunan dari Tamba Tua, namun masih dibutuhkan informasi yang lebih karena menurut Munthe Tua Siambaton adalah keturunan dari mereka yang tinggal di tanah Tamba, namun bila dilihat dari leluhurnya Parsanti Ulubalang, Siambaton adalah keturunan dari Munthe Tua.
Dari keturunan Saragi Tua yang sudah menjadi marga (Saragi) lahir marga-marga baru yaitu : Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke juga marga-marga yang ada di Dairi/Pakpak dan Karo seperti : Basirun, Bolahan, Akarbejadi, Kaban, Jurung dan Telun. Namun untuk marga Sidabungke merupakan keturunandari Parna Saragi Tua namun saat ini sudah menjadi marga mandiri karena dalam sejarah dikatakan Sidabungke menikahi itonya, dan hingga saat ini banyak marga Parna menikahi boru Sidabungke begitu juga dengan Sidabungke yang menikahi boru Parna.
Dari Saragi Tua ini juga yang menjadi marga-marga klan Parna yang ada di Simalungun seperti Saragih Sumbayak, Saragih Dasalak. Kesemuanya itu, tempat leluhir mereka adalah dari Toba (Samosir). Percabangan-percabangan marga ini berkembang juga sampai ke tanah Karo.
Dari keturunan Munthe Tua yang sudah menjadi marga (Munthe) lahir pula marga-marga baru yaitu : Sitanggang, Sigalingging, Manihuruk. Tetapi ada pula dari keturunan Munthe Tua yang lain melahirkan marga-marga baru yang ada di Simalungun, Karo, Dairi/Phakphak, seperti Saragih garingging, Ginting Munthe, Dalimunthe, Tendang, Banuarea, Beringin, Gajah, Manik Kecupak, Berampu, Boang Manalu, Bancin dan Berasa.
Sampai saat ini, apabila orang berkenalan dan sama-sama merupakan keturunan dari Nai Ambaton (Parna), mereka akan merasa seperti saudara sendiri, dan tetap menganut paham Batak “ Sisada lulu anak sisada lulu boru”.
Dari sekian banyak jumlah marga Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Dairi/Phakphak), boleh dikatakan 20% masuk dalam klan NaiAmbaton (Parna). Pernah dulu ada anekdot kalau ada laki-laki dan perempuan yang sudah tua dan belum kawin disebut….. “sai songon Nai Ambaton “, artinya saking banyaknya marga-marga yang tidak boleh saling kawin yang masuk dalam kelompok Nai Ambaton, para anak – borunya sulit mendapat jodoh, sampai tua belum kawin sehingga yang lambat kawin diibaratkan dengan Nai Ambaton.
Kalau kita amati dalam tarombo-tarombo Batak, maka permulaan marga yang tergabung dalam kelompok Nai Ambaton (Parna) dimulai pada generasi ke V hingga generasi ke XII dari si Raja Batak. Jadi masih ada yang termasuk marga-marga muda.
Banyak legenda dan cerita yang terjadi pada sejarah Parna sampai sekarang, antara lain Legenda Tabu-tabu Gumbang, siboru Sileang Nagarusta, Datu Parngongo, Marhati Ulubalang (anak siampudan Datu Parngongo), Makam Op. Soributtu Sidabutar yang terkenal sampai sekarang di Tomok, maupun Sibatu Gantung di Sibaganding Parapat.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI SUANON.
Nai Suanon semasa gadisnya bernama Siboru Sanggul Haomasan, adalah istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang melahirkan si Suanon. Setelah dewasa, si Suanon digelari Tuan Sorbadibanua.
Sama halnya dengan Siboru Anting Haomasan istri kedua Tuan Sorimangaraja, Siboru Sanggul Haomasan juga sulit mendapat keturunan. Disuatu waktu, Siboru Sanggul Haomasan berjalan-jalan ditepi hutan, bertemu dengan seorang wanita tua yang tidak tau darimana datangnya. Ketika si wanita tua bertanya kepada Siboru Sanggul Haomasan, dia tidak bisa menjawab dengan tepat pertanyaan itu, lalu kata si wanita tua : “ Tardok do ho boru ni raja namalo jala na bisuk, alai tung sungkun-sungkun hi dang taralusi ho onpe ingkon bernitdo parniahapanmu paima-ima tunas ni siubeonmu”. ( Kau termasuk putri raja yang pintar dan bijaksana, tetapi pertanyaanku tak dapat kau jawab, jadi ingatlah akan susah engkau mendapatkan keturunan.)
Setelah berbagai usaha, martonggo (berdoa) kepada Mulajadi Nabolon, akhirnya datanglah pesan kepada Tuan Sorimangaraja bahwa dia akan memperoleh keturunan dari Siboru Sanggul Haomasan apabila dapat menemukan semua persyaratan yang disampaikan Mulajadi Nabolon melalui Borusibasopaet, adapaun syarat yang harus ditemukan Tuan Sorimangaraja adalah :
1. Sebatang kayu besar yang dapat mendirikan sebuah rumah, kayu itu ditemukan di Daerah Angkola (Tapanuli Selatan sekarang ).
2. Hati besi untuk ditempa jadi pisau sakti, dapat ditemukan di sungai Buarbuar dekat Barus ( Tapanuli Tengah sekarang).
3. Kerbau sitikko (melingkar) tanduk, si opat pusoran, sijambe ihur sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon.
Setelah terpenuhi, diadakanlah upacara martonggo, diiringi bunyi Gondang Sabangunan. Tuan Sorimangaraja dan istrinya Siboru Sanggul Haomasan didaulat untuk menari. Persembahan dan doa Tuan Sorimangaraja diterima Mulajadi Nabolon. Tiba waktunya, istrinya Siboru Sanggul Haomasan melahirkan seorang anak yang dinamai si Suanon ( Tuan Sorbadibanua).
Tuan Sorbadibanua setelah kawin mendiami (tinggal ) di Lumban Gorat (dekat daerah Balige sekarang ), sedangkan saudaranya yang lain yaitu Tuan Sorbadijulu tinggal di Pangururan (Samosir) dan Tuan Sorbadijae tinggal di Sibisa (Uluan).
Si Suanon atau Tuan Sorbadibanua kawin dengan Nai Anting Malela tetapi lama tidak punya anak. Menurut “datu” dia akan beroleh anak apabila, Nai Anting Malela akan memperoleh keturunan apabila “marimbang matua” ( bermadu ). Mendengar itu, suka tidak suka Nai Anting Malela mengijinkan Tuan Sorbadibanua untuk kawin lagi. Masalahnya, perempuan yang akan dinikahi yang sulit di dapat. Saking gusarnya, Tuan Sorbadibanua meminta ijin untuk berburu di hutan untuk melupakan segala “parsorion” yang dialaminya. Dalam perburuannya, tak satupun binatang buruan yang didapat, akhirnya dia tertidur di bawah sebatang pohon besar. Dalam tidurnya, diantara sadar dan mimpi dia didatangi sesosok wanita cantik namun ketika tersadar, tak ada bekasnya, bayangannyapun tidak, namun lapat-lapat terdengar olenya suara yang berkata : Percikkanlah ramuan obat yang kamu bawa ke kiri dan ke kanan masing-masing sebanyak 7 kali lalu melangkahlah engkau kea rah kanan. Tuan Sorbadibanua menuruti perintah suara tersebut, entah darimana datangnya tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita berparas ayu, merekapun bertegur sapa dan berkenalan, perempuan itu bernama BORU SIBASOPAET. Tuan Sorbadibanua pun membawa perempuan itu ke kampungnya untuk dijadikan madu Nai Anting Malela.
Mengenai istri kedua Tuan Sorbadibanua ini menurut legenda adalah manusia hutan yang tidak punya saudara (mapultak sian batu madabu sian langit ). Dia menerima pinangan Tuan Sorbadibanua dengan syarat jagan sekali-kali menyebut dia putri dari hutan belantara yang tidak punya “hula-hula” yang tidak punya saudara. Syarat tersebut disetujui Tuan Sorbadibanua.
Legenda lain mengatakan, Boru Basopaet adalah manusia biasa yang tersesat di hutan ketika terpisah dari rombongannya. Mereka berasal dari tanah Jau ( Jawa ) bersama rombongan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya datang ke pinggiran danau Toba di dekat Balige sekarang, Boru Basopaet sendiri adalah adik perempuan Raden Wijaya.
Kedatangan pasukan Majapahit ke Pulau Morsa ( Andalas/Sumatera ) adalah dalam rangka memperluas wilayah kerajaan. Mereka sampai di tepian danau Toba setelah menaklukkan kerajaan Sriwijaya di Palembang, kerajaan Batanghari di Jambi sekarang, Kerajaan Portibi dan Muara Takus di perbatasan Tapanuli Selatan, Jambi dan Sumatera Barat sekarang.
Di daerah yang ditaklukkan tersebut, pasukan Majapahit mendirikan candi sebagai pertanda mereka pernah menguasai wilayah itu, antara lain Candi Portibi dan Candi Muara Takus. Sampai sekarang kedua candi tersebut masih ada walau kurang terawat.
Setelah perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Basopaet, mereka mencari-cari rombongan dari Kerajaan Mojopahit, merekapun bertemu. Mengetahui adeknya telah kawin dengan Tuan Sorbadibanua, Raden Wijayapun menjalin hubungan persaudaraan dengan Tuan Sorbadibanua. Mereka menjadi teman akrab.
Pada setiap wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Mojopahit, mereka membawa para pemuda yang ada, dipilih yang gagah berani dan dijadikan pasukan kerajaan.
Pada suatu kesempatan, Raden Wijaya berbincang-bincang dengan “laenya” Tuan Sorbadibanua, dia berkeinginan mencari pemuda gagah berani untuk dijadikan prajurit perwira. Tuan Sorbadibanua mengajukan salah seorang ponakannya ( berenya) yang bernama si GAJA untuk dilatih menjadi prajurit. Dia seorang yang tampan gagah, tubuhnya besar tapi sangat nakal, ada-ada saja ulahnya yang membuat orang lain selalu menghindar kalau bertemu dengannya, tak ada yang berani melawan karena disamping tubuhnya yang besar dia juga memiliki kesaktian. Ketika ditawarkan kepadanya, dengan sangat sukacita dia menerima, maka berangkatlah dia bersama pasukan Majapahit yang pulang ke Jayadwipa.
Di kerajaan Majapahit, si Gaja dapat menempatkan diri, dia berlatih dengan tekut dan bersemangat. Karena dasarnya dia sudah memiliki kesaktian, maka “Diklat” prajurit yang diikutinya berjalan lancer, malah dikesempatan-kesempatan tertentu dialah yang menjadi pelatih para prajurit yang lain.
Si Gaja menjadi prajurit yang disegani ditengah-tengah pasukan kerajaan. Bersama si Gaja banyak juga pemuda-pemuda gagah dari Pulau Morsa (Sumatera) yang dibawa Raden Wijaya untuk dijadikan prajurit kerajaan, karena sudah kenal sejak semula dengan si Gaja, mereka sering latihan bersama, berperang bersama.
Sudah disebutkan di atas, si Gaja ini orang yang suka usil dan nakal, kendati sudah berada di kerajaan Majapahit keusilan dia tidak berkurang, malah dengan tambahan ilmu yang didapatnya bertambah juga kenakalan-kenakalannya, namun sering juga dia lebih duluan bertanya kepada teman-temannya yang berasal dari Sumatra apa yang akan mereka lakukan. Teman-temannya berkata : GAJAIMADA ISI. Artinya: perbuatlah sesukamu disitu. Orang-orang atau prajurit yang berasal dari wilayah lain yang mendengar pembicaraan mereka berpikir bahwa sebutan itu ditujukan sebagai panggilan kepada si Gaja yang mereka kenal gagah berani sehingga berkesimpulan bahwa nama prajurit perwira ini adalah : GAJAMADA.
Sejak itu Gajamada itu menjadi panggilan resminya.
Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa si Gaja kawin dengan gadis dari Pulau Dewata ketika pasukan Majapahit menaklukkan salah satu kerajaan di pulau itu. Perempuan itu bernama si MADE, dan dari perkawinan mereka memperoleh anak yang biberi nama GAJAMADE, yaitu perpaduan antara nama si Gaja dan si Made karena mereka berasal dari pulau yang berbeda, dan lama kelamaan GAJAMADE berubah panggilan menjadi GAJAMADA.
Manapun yang benar dari legenda tersebut tetapi tetap mengaikan bahwa Gajamada masih mempunyai darah Batak. (Kata Legenda dan cerita).
Anting Malela akhirnya hidup bermadu dengan Boru Sibasopaet, hanya dengan demikian impian hatinya memperoleh keturunan dapat tercapai sebagimana petunjuk Mulajadi Nabolon.
Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Anting Malela lahir 5 orang anak mereka yaitu :
1. Sibagot Nipohan,
2. Sipaettua,
3. Silahisabungan,
4. Siraja Oloan,
5. Siraja Hutalima.
Perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Sibasopaet juga melahirkan anak, tetapi lahirnya anak tersebut ditandai dengan hal-hal yang tidak logika.
Pertama keluar dari rahim Boru Sibasopaet segumpal daging, tidak ada bentuk, si Boru Basopaet sangat sedih dan menangis karena yang dilahirkan bukan bentuk manusia, disamping itu akan timbul perasaan malu apabila orang lain mengetahuinya. Untuk menutupi kejadian tersebut dia menyembunyikan gumpalan daging tadi di tumpukan sekam padi (sobuon). Demikianlah, si Boru Sibasopaet berlaku biasa sekan tidak terjadi apa-apa, tetapi hatinya luluh lantak bila teringat kejadian yang menimpanya. Dalam kesedihannya dia selalu mengasingkan diri di tepi hutan dan menangis disana. Suatu ketika, terdengar olehnya suara disela-sela suara suitan burung elang yang terbang melayang-layang di atas kampong mereka. Dengan kesaktiannya, hanya si Boru Sibasopaet yang dapat mengerti suara tersebut. Suara tersebut berkata bahwa pada waktunya gumpalan daging yang dia sembunyikan akan pecah, dari dalamnya akan keluar bayi mungil dan agar dinamai sesuai dengan tempat dia disembunyikan.
Benarlah kata suara tersebut, gumpalan daging itupun pecah dan dari dalamnya keluarlah seorang bayi mungil berparas tampan, tangisannya membahana memenuhi rumah mereka. Sesuai pesan yang didengar dan disampaikan kepadanya, si Boru Sibasopaet memberi nama kepada orok tersebut seperti nama tempat di disembunyikan yaitu : SOBU, karena dia disembunyikan di tumpukan SOBUON.
Kelahiran kedua juga demikian, hanya berupa gumpalan daging yang tidak berbentuk. Si Boru Sibasopaet menyembunyikan gumpalan daging itu diantara tumpukan kayu bakar ( soban, sumban ). Setelah gumpalan daging tadi pecah keluar pula bayi mungil yang kemudian diberi nama sesuai tempatnya disembunyikan : SUMBA, karena disembunyikan di tumpukan sumban.
Anak ketiga juga demikian halnya, lahir hanya berbentuk gumpalan daging, si Boru Sibasopaet menyembunyilan di salean yang sudah hitam pekat (naipos-iposon), setelah pecah dan keluar bayi mungil kepadanya diberikan nama sesuai tempat dia disembunyikan : NAIPOSPOS.
Dengan demikian maka anak Tuan Sorbadibanua ada 8 orang, lima orang dari isteri pertama Nai Anting Malela dan 3 orang dari Boru Sibasopaet. Anak Tuan Sorbadibanua ini termasuk pada generasi ke V dari si Raja Batak. Pada generasi ini nama anak Tuan Sorbadibanua yang menjadi marga sampai sekarang adalah POHAN dan NAIPOSPOS.
Dari anak-anak Tuan Sorbadibanua terlahir marga-marga yang sangat banyak dan terkenal sampai sekarang, masing-masing dari :
SIBAGOT NIPOHAN : disamping marga POHAN, keturunannya melahirkan marga-marga baru, anak pertama Tuan Sihubil melahirkan marga: TAMPUBOLON. Anak kedua Tuan Somanimbil melahirkan marga : SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL. Anak ketiga Tuan Dibangarna melahirkan marga : PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR. Dan anak keempat Sonak Malela melahirkan marga : SIMAGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU dan PARDEDE.
SIPAETTUA : anak Sipaettua ada tiga orang, dari anak pertama PANGULU PONGGOK lahir marga : HUTAHAEAN, ARUAN dan HUTAJULU. Dari anak kedua : PARTANO, lahir marga-marga : SIBARANI, SIBUEA dan SARUMPAET. Dari anak ketiga : PARDUNGDANG lahir marga-marga : PANGARIBUAN dan HUTAPEA.

Senin, 11 Mei 2015

Macam – macam jenis ulos

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
ULOS biasanya berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos penghit ni halong, yang ertinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama.
Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangkan badan, tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, ertinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Dewasa ini tidak sedikit perancang busana yang terpesona akan corak dan motif ulos dan membuat kreasi baru seperti: Baju, Gaun, Tas, dan lain-lain.
Dalam pandangan suku kaum Batak, ada tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan manusia, yaitu darah, nafas, dan panas. Dua unsur terdahulu adalah pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin di pemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu malam.Menurut pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan Ulos. Ulos sendiri berfungsi memberi panas yang menyehatkan badan dan menyenangkan fikiran sehingga kita gembira dibuatnya.
Dikalangan orang batak sering terdengar ‘mengulosi’ yang ertinya memberi Ulos, atau menghangatkan dengan ulos. Dalam kepercayaan orang-orang Batak, jika (tondi) pun perlu diulos, sehingga kaum lelki yang berjiwa keras mempunyai sifat-sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan orng perempuan mempunyai sifat-sifat ketahanan untuk melawan guna-guna dan kemandulan.
Dalam hal mengulosi, ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain orang hanya boleh mengulosi mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, misalnya orang tua boleh mengulosi anak, tetapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatn Batak yang disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru sama sekali tidak dibenarkn mengulosi hula-hulanya. Ulos yang diberikan dalam mengulosi tidak boleh sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.
Sebagai satu contoh, ulos ragidup yang akan diberikan kepada Boru yang akan melahirkan anak sulungnya haruslah yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni ulos yang disebut ‘ulos sinagok’. Untuk menulosi pembesr atau tamu kehurmat, ‘Ulos ragidup silingo’, iaitu ulos yang diberikan kepada mereka yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi) kepada orang lain.
Berikut Batak Culture akan menjabarkan nya satu persatu:
1. Ulos ragidup

yang tertinggi darjatnya, sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bahagian, iaitu dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bahagian tengah yang ditenum tersendiri dengan sangat rumit. Bahagian tengahnya terdiri ata tiga bahagian, iaitu bahagian tengah atau badan, dan dua bahagian lainnya sebagai ujung tempat pigura lelaki (pinarhalak hana) dan ujung tempat pigura perempuan (pinarhlak boru-boru). Setiap pigura diberi beraneka ragam lukisan, antara lain ‘antiganting sigumang’, batuhi ansimun, dsb.
Warna, lukisan, serta cork (ragi) memberi kesan seolah-olah ulos benar-benar hidup, sehingga orng menyebutnya ‘ragidup’, iaitu lambang kehidupan. Setiap rumah tangga Batak mempunyai ulos ragidup. Selain lambang kehidupan, ulos ini juga lambang doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan, terutama dalam hal keturunan, yakni banyak anak (gabe) bagi setiap keluarga dan panjang umur (saur sarimatua). Dalam upacara adat perkahwinan, ulos ragidup diberikan oleh orng tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai ‘ulos pargomgom’ yang maknanya agar besannya ini atas idzin Tuhan YME tetap dapat melalui bersama sang menantu anak dari sipemberi ulos tadi.
2. Ulos ragihotang
juga termasuk berdarjah tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos ragidup. Hotang bererti rotan, dan raksa ulos ini mempunyai keistimewaan yang dapat diikuti dari keempat umpasannya. Ulos ini digunakan untuk mengulosi seseorng yang dianggap picik dengan harapan agar Tuhan akan memberikan hasil yang baik, dan orng yang rajin berkerja. Dalam upacara kematian, ulos ini dipaki untuk membungkus jenazah, sedangkan kepada upacara pengkuburan kedua kalinya, untuk membungkus tulang-belulangnya. Ulos sibolang juga digolongkan sebagai ulos berdarjat tinggi, sekalipun cara pembuatannya lebih sederhana.
3. Ulos sibolang

semula disebut sibolang sebab dibeikan kepada orang yang berjasa untuk ‘mabulangbulangi’ (menghurmati) orang tua penggantin perempuan untuk mengulosi ayah pengantin lelaki sebagai ‘ulos pansaniot’. Dalam suatu pesta perkahwinan, dulu ada kebiasaan memberikan ‘ulos siholang si toluntuho’ oleh orang tua pengantin perempuan kepada menantunya sebagai ulos bela (ulos menantu). Pada ulos si toluntuho ini raginya tampak jelas mengambarkan tiga buah tuho (bahagian) yang merupakan lambang Dalihan Na Tolu.
Mengulosi menantu lelaki dimaksudkan agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman semarga, dan faham siapa yang harus dihurmati; memberi hurmat kepada semua kerabat pihak isteri; dan lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini diberikan kepada seorang wanita yang tinggal mati suaminya sebagai tanda menghurmati jasanya selama menjadi isteri almarhum. Pembeian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara bekabong, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahawa ia telah menjadi seorang janda. Ulos-ulos lain yang digunakan dalam upacara adat, antara lain, ‘ulos meratur’ dengan motif garis-garis yang mengambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur.
Biasanya ulos ini digunakan sebagai ‘ulos parompa’ dengan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut. Jenis lain adalah ‘ragi botik, ragi angkola, sirata, silimatuho, holean, sinar labu-labu, dsb. Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan dalam tiga golongan:
– Ulos nametmet, yang ukurng panjang dan lebarnya jauh lebih kecil, tidak digunakan dalam upacara adat, melainkan untuk dipakai sehari-hari. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain ulos sirampat, ragi huting, namarpisaran, dan sebagainya.
– Ulos nabalga; adalah ulos kelas tinggi atau tertinggi. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima. Yang termasuk didalam golongan ini ialah: sibolang, runjat jobit, ragidup atau ragi hidup, dsb. Cara memakai ulos bermacam-macam tergantung pada situasinya.
Ada orng memaki ulos dibahunya (dihadang atau sampe-sampe) seperti pemakaian selendang berkebaya; ada yang memakainya sebagai kain sarong (diabithon), ada yang melilitkannya dikepala (dililitohon) dan ada pula yang mengikatnya secara ketat dipinggang. Erti dan fungsi kain selendang tenun khas Batak ini sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan, kecuali bebera variasi yang disesuaikan dengan kodisi sosial budaya. Ulos kini tidk hany berfungsi sebagai lambang penghangat dan kasih sayang, melainkan juga sebagai lambang kedudukan lambang komunikasi, dan lambang solidaritas.

Pernikahan Adat Batak

“Magodang anak, pangolihononhon, magodang boru pahutaon (pamulion)”
Artinya: Jika putra sudah dewasa, ia akan dicarikan istri (dinikahkan) dan jika putri sudah dewasa dia patut bersuami (tinggal di kampung suaminya).

Masyarakat Batak, tak terkecuali di kota-kota besar termasuk Jakarta, masih memegang kuat nilai-nilai budaya. Mulai dari sistem kekerabatan, hingga adat istiadat (termasuk ruhut paradaton dalam perhelatan adat mulai dari bayi, anak, remaja, perkawinan dan kematian) tetap terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. Berikut saya paparkan urut-urutan adat pernikahan di dalam masyarakat Batak khususnya Batak Toba yang lazim digunakan terutama di kota Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, mulai dari patiur baba ni mual (mohon doa restu) hingga marunjuk (pesta pernikahan).
A. PATIUR BABA NI MUAL (permisi dan mohon doa restu Tulang)
Prosesi ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh orangtua terhadap hula-hula (kelompok marga asal sang istri) sebelum putranya menikah. Menurut adat, putri tulang (saudara kandung laki-laki dari pihak ibu) adalah jodoh pertama dari putranya. Apabila pasangan hidup yang dipilih bukan putri tulang, maka orang tuanya perlu membawa putranya permisi dan mohon doa restu tulang. Adat ini hanya dilakukan pada putra pertama yang akan menikah.
B. MARHORI-HORI DINGDING (perkenalan keluarga secara tertutup)
Beberapa bulan sebelum pesta pernikahan, keluarga pihak laki-laki (paranak/pangoli) mengunjungi keluarga pihak perempuan (parboru/oroan) dengan maksud memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk lamaran. Marhori-hori dingding hanya dilakukan oleh keluarga inti saja, karena sesuai dengan artinya (marhori = berkomunikasi, dingding = dinding) pertemuan ini diadakan secara intim dan tertutup. Suguhan yang dibawakan pun cukup berupa kue atau buah.
C. MARHUSIP (perundingan diam-diam) & PATUA HATA (melamar secara resmi):
Beberapa waktu kemudian, atas hasil pembicaraan hori-hori dingding maka diadakan pembicaraan yang lebih formal antar keluarga dekat (belum melibatkan masyarakat luar). Baik pihak paranak maupun parboru didampingi oleh raja adat masing-masing. Pihak paranak datang ke tempat keluarga parboru dengan membawa sipanganon (makanan & minuman). Pada acara ini pihak paranak mempersembahkan tudu-tudu sipanganon (makanan berupa kepala pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru memberikan dengke (ikan mas).
Acara marhusip biasanya langsung dirangkai dengan acara melamar secara resmi yang dipimpin oleh para raja adat. Acara ini dinamakan patua hata yang secara harafiah berarti meningkatkan taraf kesepakatan yang tak lagi hanya melibatkan kedua pasangan muda-mudi saja tapi sudah naik ke taraf kesepakatan antar orang tua.
Dalam acara ini dibahas secara detail adat yang akan dilaksanakan. Antara lain:
* marhata sinamot (merundingkan mas kawin / mahar)
Meliputi pembahasan jumlah dan bentuk sinamot (uang mahar) yang akan diberikan oleh pihak paranak, dan panjuhuti (jenis ternak yang akan dipotong) yang kini ditetapkan pihak parboru. Dahulu, ternak panjuhuti disediakan pihak paranak dan merupakan bagian dari sinamot.
* jumlah ulos yang akan diberikan pihak parboru kepada pihak paranak (ulos herbang)
Saat ini di daerah Jabodetabek biasanya jumlah ulos dibatasi oleh para tua-tua adat agar acara pernikahan tidak terlalu bertele-tele. Biasanya jumlahnya maksimum 17 atau 18 ulos, tapi masih bisa dinegosiasikan secara kekeluargaan.
* tempat dan tanggal martumpol dan pernikahan
Tempat pesta pernikahan dapat diselenggarakan di tempat pengantin perempuan (dialap jual) atau tempat pengantin laki-laki (tahuron jual). Jika pesta diselenggarakan di tempat paranak, maka pihak paranak tidak diwajibkan membawa sibuha-buhai (sajian pagi pada hari H). Jual beras (boras si pir ni tondi) dan dengke siuk (ikan arsik/pepes) sebagai bawaan kerabat pihak paranak akan beralih kepada pihak parboru sebagai bolahan amak atau tuan rumah.
* banyaknya jumlah undangan dari kedua belah pihak
Selama marhusip dan patua hata berlangsung kedua belah keluarga duduk secara berhadap-hadapan dan kedua pengantin biasanya “disembunyikan” lebih dahulu atau tidak dilibatkan, sampai pada akhir acara barulah keduanya dipanggil untuk diperkenalkan ke seluruh keluarga dan diberi wejangan / pengarahan. Sebelum acara ditutup biasanya dibagikan uang ingot-ingot ke pihak keluarga yang jumlahnya bervariasi, tergantung posisi orang tersebut dalam tatanan adat.
D. MARTUMPOL
Persetujuan pernikahan sekaligus pewartaan atau pengumuman melalui institusi agama (gereja, masjid, dll). Bila dilakukan di gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) maka pewartaan (yang biasa disebut tingting) dilakukan setidaknya 2 kali dalam 2 minggu berturut-turut. Bila tidak ada pihak yang berkeberatan / menggugat, barulah pernikahan dapat diselenggarakan.

E. MARTONGGO RAJA DAN MARIA RAJA
Seusai martumpol, biasanya dilanjutkan dengan pembicaraan di rumah masing-masing pihak yang disebut martonggo raja (di tempat keluarga parboru) dan maria raja (di keluarga paranak). Pembicaraan ini membahas lebih detail lagi prosesi adat hari H, terutama keterlibatan masing-masing personil keluarga besar (dongan sahuta), seperti siapa yang bertugas untuk memberi dan menerima ulos, dan hal-hal yang telah disepakati dalam acara marhusip sebelumnya.
F. PAMASU-MASUON (pemberkatan nikah) & MARUNJUK (pesta adat)
Setelah urut-urutan adat pernikahan dilalui, tibalah untuk menggelar pesta pernikahan yang diawali dengan pemberkatan di rumah ibadah dan dilanjutkan dengan marunjuk (pesta adat). Sekilas urutan prosesi pada hari H dapat disimak di bawah.
MARSIBUHA-BUHAI
Pagi hari (sekitar pukul 6.30) rombongan paranak datang untuk menjemput mempelai wanita dengan membawa tanda makanan adat na margoar / sangsang (pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru menyediakan dengke (ikan mas),sebagai tanda permulaan ikatan kekerabatan atau berbesanan (mamuhai partondongan). Seluruh keluarga pun makan pagi bersama, dan setelahnya orang tua parboru memimpin doa memberangkatkan pengantin ke rumah ibadah untuk pemberkatan.
PAMASU-MASUON (pemberkatan nikah)
Pemberkatan dilakukan di tempat ibadah. Untuk kepraktisan, sebelum acara pemberkatan dimulai biasanya dilakukan pencatatan sipil di tempat. Setelah pemberkatan usai, seluruh keluarga berangkat menuju tempat pesta adat.

MARUNJUK (pesta adat)
Setelah mempelai dan keluarga kedua pihak telah tiba dalam gedung, kedua belah pihak saling menyerahkan tanda makanan adat. Pihak paranak menyerahkan tudu-tudu ni sipanganon (pinahan lobu/babi atau kerbau utuh yang telah dipotong dan disusun menjadi beberapa bagian tertentu) pada pihak parboru, dan sebaliknya pihak parboru menyerahkan dengke simudur-mudur (ikan mas).

* Pembagian Jambar
Setelah proses tukar-menukar suguhan selesai, diadakan santap bersama yang didahului dengan doa. Lalu kedua belah pihak bersepakat tentang pembagian jambar juhut (tanda makanan adat yang berasal dari tudu ni sipanganon) di mana tiap potongan daging dibagi-bagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

* Tumpak
Saat pembagian berkat daging berlangsung, pihak paranak mengumpulkan sumbangan gugu dan tumpak dari semua kerabat yang diundang, kemudian pengantin perempuan dipersilakan untuk memungut (manjomput) sumbangan yang terkumpul untuk dirinya dan selebihnya diserahkan kepada orang tua paranak.
* Sinamot
Penyerahan mahar dari pihak paranak ke parboru sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertama-tama ‘dihitung’ terlebih dahulu oleh parhata (juru bicara) paranak, lalu oleh parhata pihak parboru, kemudian diserahkan pada ibu pengantin perempuan (diterima di atas ulos yang terbuka).
Kemudian kedua belah pihak keluarga saling berkenalan dengan beberapa prosesi adat seperti pemberian panandaion dari keluarga paranak pada keluarga parboru.

* Ulos Herbang
Pihak parboru menyerahkan ulos herbang esuai kesepakatan dalam marhusip, diawali dengan pemberian ulos passamot dan ulos hela. Ulos Passamot diberikan orang tua pengantin perempuan ke orang tua pengantin laki-laki dengan makna agar dapat mengumpulkan berkat sebanyak-banyaknya. Sedangkan Ulos Hela diberikan orang tua pengantin perempuan kepada pengantin agar pengantin bersatu sepanjang masa. Selain Ulos Hela, adapula Mandar (sarung) yang diberikan kepada pengantin laki-laki untuk dipakai bekerja jika pengantin perempuan mengadakan pesta. Kemudian orang tua parboru menabur beras Sipir Ni Tondi di kepala kedua pengantin sebanyak 3 kali agar selalu sehat, kuat menghadapi cobaan dan tabah menghadapi masalah.
* Mangulosi
Setelah pemberian ulos herbang, tibalah saat untuk mangulosi atau pemberian ulos / berkat dari seluruh keluarga bagi kedua pengantin.

* Akhir Acara
Acara diakhiri dengan ucapan selamat dari para raja parhata, orang tua disertai dengan sepatah dua kata nasihat bagi pengantin. Kemudian kedua pengantin pun mengucapkan rasa syukur pada orang tua, saudara dan seluruh undangan.
G. PASCA PERNIKAHAN
Setelah menikah pun masih ada pula beberapa prosesi adat lama yang dilakukan meski saat ini sudah tak jamak dilaksanakan, atau disatukan dalam prosesi adat untuk alasan kepraktisan. Acara tersebut adalah paulak une dan maningkir tangga, yang ditujukan untuk mengantar pengantin wanita ke pihak paranak dan kunjungan pihak parboru pada huta / desa tempat tinggal pengantin yang merupakan tempat tinggal paranak. Seluruh rangkaian acara kemudian ditutup kembali dengan doa.

Kalender Orang Batak (Partingkion ni halak Batak)


Dari pengamatan peredaran matahari Batak Toba mengetahui apa arti sada ari sada borngin antara terbit dan terbenam disebut arian atau siang. Demikian pula halnya antara matahari terbenam dan kemudian terbit disebut borngin. Jadi pengertian arian-borngin adalah sada ari-sada borngin dan terbagi lima waktu yaitu :

1. Sogot = antara jam 05.00 Wib dan 07.00 Wib
2. Pangului atau Pangulihi = antara jam 07.00 Wib dan jam 1.00 Wib
3. Hos = antara jam 11.00 Wib dan jam 13.00 Wib
4. Guling = antara jam 13.00 Wib dan jam 17.00 Wib
5. Bot = antara jam 17.00 Wib dan jam 18.00 Wib
Pembagian waktu siang dan malam adalah sama seperti yang disebutkan di muka. Pembagian atas lima waktu masih dibagi atas penglihatan terhadap keadaan matahari dan kedalam alam pada malam hari sebelum matahari berikutnya terbit.
1. Binsar mata ni ari : sekitar jam 6 pagi
2. Pangului : sekitar jam 7 pagi
3. Turba : sekitar jam 8 pagi
4. Pangguit raja : sekitar jam 9 pagi
5. Sagang ari : sekitar jam 10 siang
6. Huma na hos : sekitar jam 11 siang
7. Hos atau tonga ari : sekitar jam 12 siang
8. Guling : sekitar jam 13 siang
9. Guling dao : sekitar jam 14 sore
10. Tolu gala : sekitar jam 15 sore
11. Dua sagala : sekitar jam 16 sore
12. Sagala : sekitar jam 17 sore
13. Sundut atau mate mataniari : sekitar jam 18 sore
14. Samon : sekitar jam 19 malam
15. Hatiha mangan : sekitar jam 20 malam
16. Tungkap hudon : sekitar jam 21 malam
17. Sampe modom : sekitar jam 22 malam
18. Sampe modom na bagas : sekitar jam 23 malam
19. Tonga borngin : sekitar jam 24 malam
20. Haroro ni panangko : sekitar jam 1 malam
21. Tahuak manuk sahali : sekitar jam 2 malam
22. Tahuak manuk dua hali : sekitar jam 3 malam
23. Buhabuha ijuk : sekitar jam 4pagi
24. Andos torang atau torang ari : sekitar jam 5 pagi
Pengamatan terbit dan terbenam matahari dan memperhatikan letak bintang-bintang di langit serta mengemati cahaya ufuk Panenabolon dan membandingkannya dengan keadaan angin dan cuaca orang Batak membandingkannya dengan keadaan angin dan cuaca orang Batak membagi arah mata angin yang disebut Desa na ualu.

a. Partaonan
Partaonan adalah pengetahuan akan tahun. Tahun Batak tidak diketahui berapa jumlahnya. Mungkin tidak ada satu peristiwa yang besar yang dialami suku batak yang menjadi titik tolak permulaan tahun. Atau jumlah tahun tidak perlu ada akibat dari pandangan tentang akhir zaman. Berdasarkan budaya spritual suku batak bahwa belum diketahui atau belum dijumpai tentang adanya akhir zaman. Yang ada adalah banua atas tempat orang-orang yang baik apabila sudah meninggal, Banua Tonga tempat atau dihuni seperti kehidupan sekarang ini dan Banua Toru adalah tempat atau dihuni orang-orang yang meninggal yang perbuatannya tidak baik.
Belum diketahui atau belum dijumpai pada budaya batak tentang akhir dari alam raya. akibat dari pandangan itu, mungkin pemikiran orang batak pembentuk gagasan itu, tidak perlu diadakan penarikan tahun batak. Yang paling utama pada mereka adalah masa depan yang lebih baik bagi generasi mereka. Maka perlu perbaikan berkelanjutan tentang pengamatan waktu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Dan inilah yang masih dihayati suku batak bahwa anaknya adalah harta yang paling berharga baginya. Pertarikhan tahun batak belum diketahui, tetapi jumlah hari dan bulan pada setiap tahun ada pertambahan. Misalnya pada setiap enam tahun peredaran, ada bulan ketigabelas untuk menyesuaikan kepada tempat semula bintang-bintang di langit dimana bintang-bintang itu kembali ke tempat semula.
Sada taon artinya setahun, Tahun Batak terdiri dari duabelas bulan yang disebut sipaha maka nama-nama bulan batak itu dalam hal ini Batak Toba adalah :
1. Sipaha sada adalah bulan pertama
2. Sipaha dua adalah bulan kedua
3. Sipaha tolu adalah bulan ketiga
4. Sipaha opat adalah bulan keempat
5. Sipaha lima adalah bulan kelima
6. Sipaha onom adalah bulan keenam
7. Sipaha pitu adalah bulan ketujuh
8. Sipaha ualu adalah bulan kedelapan
9. Sipaha sia adalah bulan kesembilan
10. Sipaha sampulu adalah bulan kesepuluh
11. Li adalah bulan kesebelas
12. Hurung adalah bulan keduabelas
Permulaan tahun disebut sada kira-kira antara bulan maret dan april, bulan masehi dan akhir tahun disebut hurung kira-kira bulan antara februari dan maret bulan masehi.
Setiap bulan atau Sipaha terdiri antara 28 hari dan 30 hari dan nama-namanya seperti barikut ini :
1. Artia
2. Suma
3. Anggara
4. Muda
5. Boraspati
6. Singkora
7. Samisara
8. Antian ni aek
9. Sumani mangadap
10. Anggara sampulu
11. Muda ni mangadap
12. Boraspati ni tangkok
13. Singkora purnama
14. Samisara purnama
15. Tula
16. Suma ni holom
17. Anggara ni holom
18. Muda ni holom
19. Boraspati ni holom
20. Singkora mora turun
21. Samisara Mora turun
22. Antian ni anggara
23. Suma ni mate
24. Anggara ni begu
25. Muda ni mate
26. Boraspati na gok
27. Singkora duduk
28. Samisara bulan mate
29. Hurung
30. Ringkar
Hari pertama disebut artia hari terakhir dinamai ringkar. Jika diperhatikan nama-nama hari diatas, bahwa setiap tujuh hari ada perulangan nama artia. Hari pertama antiani aek hari kedelapan, tula hari kelimabelas dan antian ni anggara hari kedua puluh dua. Demikian pula samisara hari ketujuh, samisara purnama, hari keempat belas, samisara mora turun, hari kedua puluh satu, samisara bulan mate hari keduapuluh delapan, maka dapat diketahui bahwa setiap tujuh hari bulan, ada perobahan pada peredarannya. Sebagaimana diketahui bahwa nama-nama hari Batak adalah berdasarkan peredaran bulan. Untuk menyesuaikan nama bulan dan tempat semula perbintangan maka ada hari tambahan yaitu hari hurung hari kedua puluh sembilan dan ringkar hari ketiga puluh Batak Toba untuk mengetahui pandangannya tentang waktu.

Sejak zaman dahulu orang batak sudah mengetahui perjalanan bulan dan bintang setiap harinya. Parhalaan Batak adalah cerminan pane nabolon hukum alam terhadap setiap manusia.
Apa yang akan terjadi besok, kelak menjadi apa anak yang baru lahirkan , bagaimana nasib seseorang, barang hilang serta langkah yang baik bagi orang Batak sudah merupakan kebiasaan pada zaman dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta ritual segalanya lebih dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan).
Kembali kepada Mithologi Siboru Deakparujar bahwa saudara kembar dari debata Sorisohaliapan adalah Tuan Dihurmijati yang disebut juga Panenabolon. Panenabolon dalam buku ini disebut Hukum Alam, dengan tanda yaitu cahaya ufuk yang mulai nampak pada hari senja dan malam hari. Panenabolon menurut mithologi berdiam diri tiga-tiga bulan pada satu desa, setelah itu berpindah ke desa yang lain. Menurut pengetahuan modern, bahwa perpindahan itu adalah gambaran peredaran matahari, tiga bulan dari khatulistiwa ke utara, kemudian tiga bulan dari Utara ke khatulistiwa dan kemudian dari khatulistiwa tiga bulan ke selatan dan seterusnya tiga bulan juga kembali ke khatulistiwa.
Demikian seterusnya Panenabolon berjalan dan di dalam buku, disebut peredaran alam raya. Jalan pikiran yang terdapat pada mithologi Siboru Deakparujar tersebut adalah pengetahuan waktu tentang peredaran alam raya. Perjalanan Panenabolon menjadi sumber pengetahuan Batak Toba mengenai waktu, baru diperkaya kemudian dengan memperhatikan perbintangan dan bulan serta arah mata angin.
Memperlihatkan Panenabolon yang menjadi sumber peredaran matahari, peredaran bintang, peredaran bulan dan arah angin, maka tumbuh ilmu pengetahuan alam tentang waktu yang disebut : Parhalaan, baik mengenai tahun, bulan, dan hari, maupun mengenai pembagian waktu satu hari satu malam dan istilah-istilah untuk itu. hubungan pembagian waktu ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia yang bersifat ritual. Ilmu Nujum inilah yang menjadi Pola Umum berpikir Batak Toba saat itu. Yang membuat terbenamnya pola Umum berpikir itu sehingga pandangan Batak Toba mengenai waktu bergeser dari nilai yang semula bernilai positif, berobah menjadi ilmu meramal nasib manusia.
Sejak mithologi Siboru Deakparujar suku batak pada umumnya sangat gemar memperhatikan Panenabolon-cahaya ufuk yang nampak sejak senja sampai malam hari. Mengamati perjalanan Panenabolon membandingkan dengan tempat bintang-bintang di malam hari serta membandingkan pula dengan peredaran bulan dan matahari dan keadaan angin pada satu-satu waktu maka orang Batak membagi waktu.
Dari hasil pengamatan dan pengalaman itu, dapat diketahui bahwa peredaran alam raya ada kaitannya dengan kehidupan, baik mengenai kehidupan manusia maupun kehidupan alami. Artinya bahwa hukum alam ada kaitannya dengan alam ini. Baik mengenai kehidupan manusia maupun kehidupan alami. Artinya bahwa hukum alam ada kaitannya dengan alam ini, baik terhadap alam manusia dan hewani maupun terhadap alam tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu Panenabolon dan perbintangan serta peredaran bulan dan matahari itu menentukan arah mata angin sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, maka pengamatan untuk semua itu adalah paling utama pada kegiatan sehari-hari.
Agar mereka dapat mengetahui kegiatan apa yang hendak dilakukan setiap hari pada waktu yang tepat. Maka para cerdik pandai batak itu membagi waktu pada keadaan yang tepat. Jika orang barat dalam hal ini yunani terutama Romawi mentransfer peredaran alam raya itu dengan teknik pengetahuan alam sebagai titik tolak pembuatan jam, maka orang batak masih terbenam pada pola umum, belum mampu mentransfer peredaran itu dengan teknik ilmu alam. Artinya, bahwa pembagian waktu itu masih tetap berdasarkan penglihatan atau pengamatan mata.

Minggu, 03 Mei 2015

Legenda Pusuk Buhit dan Asal Muasal Si Raja Batak

I.LEGENDA PUSUK BUHIT
Pusuk Buhit, adalah gunung yang awalnya bernama Gunung Toba memiliki ketinggian 1.500 meter lebih dari permukaan laut dan 1.077 meter dari permukaan Danau Toba. Ada tiga kecamatan yang berada langsung di bawah gunung tersebut yakni Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kecamatan Pangururan, dan kecamatan Harian Boho.
Patung Keturunan Guru Tateabulan (Si Raja Lotung)
Berawal dari Siboru Deak Parujar yang turun dari langit. Dia terpaksa meninggalkan kahyangan karena tidak suka dijodohkan dengan Siraja Odap-odap. Padahal mereka berdua sama-sama keturunan dewa. Dengan alat tenun dan benangnya, Siboru Deak Parujar yakin menemukan suatu tempat persembunyian di benua bawah. Alhasil, dia tetap terpaksa minta bantuan melalui burung-suruhan Sileang-leang Mandi agar Dewata Mulajadi Nabolon berkenan mengirimkan sekepul tanah untuk ditekuk dan dijadikan tempatnya berpijak.
Namun sampai beberapa kali kepul tanah itu ditekuk-tekuk, tempat pijakan itu selalu diganggu oleh Naga Padoha Niaji. Raksasa ini sama jelek dan tertariknya dengan Siraja Odap-odap melihat kecantikan Siboru Deak Parujar. Akhirnya Siboru Deak Parujar mengambil siasat dengan makan sirih. Warna sirih Siboru Deak Parujar kemudian semakin menawan Naga Padoha Niaji. Dia mau tangannya diikat asal yang membuat merah bibir itu dapat dibagi kepadanya. Namun setelah kedua tangan berkenan diikat dengan tali pandan, Siboru Deak Parujar tidak memberikan sirih itu sama sekali dan membiarkan Naga Padoha Niaji meronta-ronta sampai lelah.

Aek Bunga-Bunga (Mata Air Pertama di Sagala)
Bumi yang diciptakan oleh Siboru Deak Parujar terkadang harus diguncang gempa. Gempa itulah hasil perilaku Naga Padoha Niaji. Namun ketika guncangan itu mereda Siboru Deak Parujar mulai merasa kesepian dan mencari teman untuk bercengkerama. Tanpa diduga dan mengejutkan, diapun bertemu dengan Siraja Odap-Odap dan sepakat menjadi suami-istri yang melahirkan pasangan manusia pertama di bumi dengan nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Dari generasi pertama ini lahir tiga anak yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu dan Si Aji Lapas-lapas.
Dari ketiga anak tersebut hanya raja Miok-miok memiliki keturunan yaitu Eng Banua.Generasi berikutnya Eng Domia atau Raja Bonang bonang yang menurunkan Raja Tantan Debata,Si Aceh dan Si Jau. Hanya Guru Tantan Debata pula yang memiliki keturunan yaitu Si Raja Batak.
Mulai dari garis Si Raja Batak, asal-usul manusia Batak bukan dianggap legenda lagi tapi menjadi tarombo atau permulaan silsilah. Pada generasi sekarang telah dikenal aksara atau lazim disebut Pustaha Laklak. Sebelum meninggal, Si Raja Batak sempat mewariskan ”Piagam Wasiat” kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mendapat ”Surat Agung” yang berisi ilmu pedukunan atau kesaktian, pencak silat dan keperwiraan. Raja Isumbaon mendapat ”Tumbaga Holing”yang berisi kerajaan (Tatap- Raja ), hukum atau peradilan, persawahan, dagang dan seni mencipta. Guru Tatea Bulan memiliki sembilan anak yaitu Si Raja Biak-biak, Tuan Saribu Raja, Si Boru Pareme (putri), Limbong Mulana, Si Boru Anting Sabungan(putri), Sagala Raja, Si Boru Biding Laut (putri), Malau Raja dan Si Boru Nan Tinjo ( maaf, konon seorang banci yang dalam bahasa Batak disebut si dua jambar). Dari keturunan Guru Tatea Bulan terjadi pula perkawinan incest. Antara Saribu Raja dengan Si Boru Pareme. Ini yang menurunkan Si Raja Lontung yang kita kenal marga Sinaga, Nainggolan, Aritonang, Situmorang, dan seterusnya.
Pada umumnya orang Batak percaya kalau Siraja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit. Siraja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama. Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Ada dua arah jalan daratan menuju Pusuk Buhit. Satu dari arah Tomok (bagian Timur) dan satu lagi dari dataran tinggi Tele.
II.ASAL MUASAL SI RAJA BATAK
Asal usul suku Batak sangat sulit untuk ditelusuri dikarenakan minimnya situs peninggalan sejarah yg menceritakan tentang suku Batak, maka sering dikatakan menelusuri asal usul suku Batak adalah orang yg kurang kerjaan. tapi bagi saya nggak jadi masalah dikatakan kurang kerjaan, siapa tau ada dari para pembaca yg bisa lebih melengkapi tulisan ini saya akan sangat berterima kasih.
Dengan mengutip dari berbagai sumber termasuk tulisan diberbagai blog dan juga buku2 yg menuls tentang Batak saya mencoba untuk menyajikannya bagi para pembaca Suku Batak adalah salah satu dari ratusan suku yg terdapat di Indonesia,suku Batak terdapat di wilayah Sumatera Utara.Menurut legenda yang dipercayai sebahagian masyarakat Batak bahwa suku batak berasal dari pusuk buhit daerah sianjur Mula Mula sebelah barat Pangururan di pinggiran danau toba.
Kalau versi ahli sejarah Batak mengatakan bahwa siRaja Batak dan rombonganya berasal dari Thailand yg menyeberang ke Sumatera melalui Semenanjung Malaysia dan akhirnya sampai ke Sianjur Mula mula dan menetap disana.
Sedangkan dari prasasti yg ditemukan di Portibi yg bertahun 1208 dan dibaca oleh Prof. Nilakantisari seorang Guru Besar ahli Kepurbakalaan yg berasal dari Madras,India menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya dan menguasai daerah Barus.pasukan dari kerajaan Cola kemunggkinan adalah orang-orang Tamil karena ditemukan sekitar 1500 orang Tamil yang bermukim di Barus pada masa itu.Tamil adalah nama salah satu suku yg terdapat di India.
si Raja Batak diperkirakan hidup pada tahun 1200 (awal abad ke13) Raja Sisingamangaraja keXII diperkirakan keturunan siRaja Batak generasi ke19 yg wafat pada tahun 1907 dan anaknya si Raja Buntal adalah generasi ke 20.
Dari temuan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar leluhur dari siRaja batak adalah seorang pejabat atau pejuang kerajaan Sriwijaya yg berkedudukan diBarus karena pada abad ke12 yg menguasai seluruh nusantara adalah kerajaan Sriwijaya diPalembang.
Akibat dari penyerangan kerajaan Cole ini maka diperkirakan leluhur siRaja Batak dan rombonganya terdesak hingga ke daerah Portibi sebelah selatan Danau Toba dan dari sinilah kemungkinan yg dinamakan siRaja Batak mulai memegang tampuk pemimpin perang
atau boleh jadi siRaja Batak memperluas daerah kekuasaan perangnya sampai mancakup daerah sekitar Danau Toba, Simalungun, Tanah Karo, Dairi sampai sebahagian daerah Aceh dan memindahkan pusat kekuasaanya sidaerah Portibi disebelah selatan Danau Toba.
Pada akhir abad ke12 sekitar tahun 1275 kerajaan Majapahit menyerang kerajaan Sriwijaya sampai kedaerah Pane,Haru,Padang Lawas dan sekitarnya yg diperkirakan termasuk daerah kekuasaan si Raja Batak.
Serangan dari kerajaan Majapahit inilah diperkirakan yg mengakibatkan si Raja Batak dan rombonganya terdesak hingga masuk kepedalaman disebelah barat Pangururan ditepian Danau Toba,daerah tersebut bernama Sianjur Mula Mula dikaki bukit yang bernama Pusuk Buhit,kemudian menghuni daerah tersebut bersama rombonganya.
terdesaknya siRaja Batak oleh pasukan dari kerajaan Majapahit kemungkinan erat hubunganya dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya dipalembang karena seperti pada perkiraan diatas siRaja Batak adalah kemungkinan seorang Penguasa perang dibawah kendali kerajaan Sriwijaya.
Sebutan Raja kepada siRaja Batak bukanlah karena beliau seorang Raja akan tetapi merupakan sebutan dari pengikutnya ataupun keturunanya sebagai penghormatan karena memang tidak ada ditemukan bukti2 yg menunjukkan adanya sebuah kerajaan yg dinamakan kerajaan Batak.
Suku Batak sangat menghormati leluhurnya sehingga hampir semua leluhur marga2 batak diberi gelar Raja sebagai gelar penghormatan,juga makam-makam para leluhur orang Batak dibangun sedemikian rupa oleh keturunanya dan dibuatkan tugu yang bisa menghabiskan biaya milyartan rupiah.Tugu ini dimaksudkan selain penghormatan terhadap leluhur juga untuk mengingatkan generasi muda akan silsilah mereka.
didalam sistim kemasyarakatan suku Batak terdapat apa yang disebut dengan Marga yang dipakai secara turun temurun dengan mengikuti garis keturunan laki laki.ada sekitar 227 nama Marga pada suku Batak.
Didalam Tarombo Naimarata dikatakan bahwa siRaja Batak memiliki 3 (tiga)orang anak yaitu:
  • GURU TATEA BULAN (si Raja Lontung)

  • RAJA ISOMBAON (si Raja Sumba)

  • TOGA LAUT.
Ketiga anak si Raja Batak inilah yg diyakini meneruskan tampuk pimpinan siRaja Batak dan asal mula terbentuknya marga-marga pada suku Batak.

III. KISAH SI SULUNG RAJA UTI DARI PUSUK BUHIT
Raja Uti yang bisa berubah ujud hingga 7 Rupa
Raja Uti yang bisa berubah ujud hingga 7 Rupa
Dalam catatan turi-turian (legenda/mitos) dan keyakinan sebagian keturunan Batak, anak Sulung Guru Tatea Bulan yang paling memiliki kesaktian adalah Raja Uti. Si Sulung keturunan Guru Tatea Bulan ini dikenal dengan banyak sapaan atau gelar oleh masyarakat Batak.
Raja Biak-biak, dengan nama raja Gumelenggeleng. Si sulung keturunan Guru Tatea Bulan, seorang yang cacat yang tidak punya tangan, dan kaki. Karena kondisi tubuhnya itu, si sulung tak bisa duduk.
Berdasarkan turi-turian, Raja Gumeleng-geleng merasa berkecil hati di hadapan adik-adiknya yang berbeda dengan kondisinya.
Sebagian orang Batak berkata, dia punya sayap makanya disebut namanya Tuan Rajauti, raja yang takkan pernah mati, raja yang takkan pernah tua.
Turi-turian Batak menyebutkan pesisir Fansur atau kadang lazim disebut Barus sekarang ini menjadi tempat Raja Uti tinggal berikutnya.
Raja Uti terkenal sangat sakti ujudnya pun berubah hingga 7 kali:
“Wujud pertama ompung Raja Uti adalah tidak punya tangan, tidak punya kaki (Patung rupa Raja Uti dapat dilihat di pusuk buhit).
Yang menarik dari ketujuh patung tersebut ada 2 patung yang memakai bonang manalu (merah-putih-hitam) warna khas kosmologi batak. Dulu orang yang memakai tali-tali bonang manalu menandakan bahwa ia seorang Parbaringin.
Sebelah kanan ada pohon beringin yang artinya berketurunan lengkap (saur matua) dan Baringin tersebut merupakan gambar atau simbol pengayoman atau panggomgom yang dinamai ‘hariara sundung di langit’ alana daompung ido nampuna HARIARA SUNDUNG DILANGIT dan sebelah kiri Cawan menggambarkan Mulani pangurason nasohaliapan, nasohapurpuran, napituhali malim napitu hali solam.
Ada rentetan cerita yang sangat panjang sampai akhirnya Debata Mulajadi Nabolon MANONGOS / menurunkan UTE TUBU (pangir), DAUPA (pohon Hamijon/kemenyan), DAN DEMBAN TIAR (sirih).Ketiga hal yang disebutkan diatas memiliki keterikatan / hubungan penggunaan yang tidak bisa dipisahkan (bagi orang yang mengerti).
Kalau untuk Bona ni JAJABI / pohon beringin dipakai oleh raja2 (yang sekarang disebut dgn RAJA BIUS) untuk tempat PARTUKOAN (rapat/ pertemuan) dalam membahas sesuatu permasalahan.
Sebelah kanan ada dua patung yang memakai ulos warna putih, disini janggal keliatannya sebab jarang sekali ulos berwarna putih polos. Ulos juga memakai tiga warna khas batak. Biasanya warna/motif pada ulos juga memberikan ciri dari kelompok dalihan natolu yaitu kelompok hula-hula lebih banyak hitamnya dairpada warna putih & merah, sedangkan untuk dongan tubu lebih banyak putihnya daripada warna hitam & merah dan terakhir kelompok boru lebih banyak warna merahnya daripada warna putih & hitam.
Sebagai keturunan pertama dari Ompu Guru Tatea Bulan, Op.Raja Uti meminta ijin kepada ibunya untuk pergi ke Pusuk Buhit demi memohon kepada Mula Jadi Nabolon agar boleh dia dijadikan menjadi raja diantara saudara-saudaranya karena dia adalah putra yang sulung dan pertama keluar dari rahim ibunya, jadi pantaslah dia yang menjadi raja.
Kemudian lanjutnya, “tapi apa dayaku sebagai orang tak sempurna sebagai manusia yang selalu dianggap remeh oleh saudara-saudaraku.”
Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan Gumellenggelleng dan seketika tubuh Gumellenggelleng berubah menjadi manusia yang sempurna yang memiliki kaki dan tangan bertumbuh normal. Lalu dia diberi kuasa oleh Mulajadi Nabolon menjadi orang sakti yang disebut namanya menjadi Raja Biakbiak.
Setelah Gumellenggelleng disempurnakan menjadi perkasa sebagai Raja Biakbiak maka Mulajadi Nabolon kemudian pergi ke tahtahnya melalui Pusuk Buhit, dan jadilah Biakbiak menjadi raja pertapa sakti.
Setelah sekian lama dalam pertapaannya, Raja Biakbiak dengan percaya diri turun dari Pusuk Buhit hendak menjumpai orangtuanya dan saudara-saudaranya dan membayangkan bahwa dia akan disambut oleh keluarga itu sebagai raja karena dia sebagai anak yang tertua dan lagipula dia telah menjadi manusia sempurnah dan sakti. Anggapan itu ternyata meleset dan dia menjumpai keluarganya sudah berantakan bercerai berai karena ulah Sariburaja dan Siboru Pareme yang berbuat cinta terlarang. Raja Biakbiak tidak menjumpai lagi Siboru Pareme kembarannya dan demikian juga Sariburaja adiknya tak terlihat lagi karena sudah terusir dari kampungnya.
Karena dia merasa sangat kecewa bahwa keluarga keturunan ayahnya sudah berantakan dan bercerai berai, maka dia pergi ke Singkil.
Raja Biakbiak, walaupun bertubuh kate tetapi dia memiliki tubuh sempurna dan memiliki kesaktian tinggi sehingga raja-raja setempat mempersembahkannya istri. Kekuasaannya kemudian membentuk sebuah kerajaan Batak dan dia digelari sebagai Raja Uti karena memiliki utiutian dari Mulajadi Nabolon sebagai kesaktiannya. Kekuasaannya berkembang di Singkil, Kluet dan sampai ke Barus yang ramai dengan perdagangan.
IV. RAJA UTI DI SERAHKAN DI PUNCAK PUSUK BUHIT
Bukan hanya orang Batak, tak sedikit warga dari luar Sumatera Utara, termasuk tokoh politik nasional, yang datang ke puncak Gunung Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir untuk berdoa. Mereka menganggap tempat itu suci.
Zaman dulu Mulajadi Nabolon atau Tuhan Yang Maha Esa mengirimkan tujuh gadis dari kayangan ke Pusuk Buhit. Mereka mandi di Tala, sekitar 30 menit perjalanan kaki sebelum puncak tertinggi Pusuk Buhit. Guru Tatea Bulan, putra dari nenek moyang orang Batak, Si Raja Batak, melihat gadis-gadis itu saat mandi. Lalu, ia mengambil kain milik salah satu perempuan surgawi itu. Enam gadis kembali ke langit dan satu lagi tinggal di Pusuk Buhit, yang kemudian diperistri oleh Guru Tatea Bulan. Mereka bermukim di Parik Sabungan, di kaki Gunung Pusuk Buhit.
Dari perempuan suralaya itu, Guru Tatea Bulan memiliki sepuluh keturunan: lima putra dan lima putri. Putranya yang sulung lahir tidak normal, tidak seperti manusia lazimnya. Tubuhnya tidak memiliki tulang. Ukurannya kecil. Beribu-ribu tahun kemudian ia dikenal dengan nama Raja Uti.
Istri Guru Tatea Bulan sangat mencintai kesepuluh anaknya. Khusus kepada Raja Uti yang tidak normal, dia mesti menanak beras yang enak, agar bisa dimakan. Empat adik laki-laki Raja Uti pun cemburu, bahkan menginginkan abang mereka itu dibunuh, karena fisiknya tidak selayaknya manusia.
Ditekan oleh empat putranya, istri Guru Tatea Bulan akhirnya membawa Raja Uti ke lokasi air terjun Batu Sawan, sekitar satu kilometer dari kampung Parik Sabungan ke arah puncak gunung. Tidak jauh dari air terjun itu terdapat batu berliang, seperti mulut gua, di sanalah Raja Uti ditinggalkan.
Saban hari ibunya diam-diam mengantarkan nasi untuk Raja Uti di Batu Liang. Dia juga memandikan anaknya itu di air terjun Batu Sawan. Mengetahui hal itu, empat putranya yang lain kembali protes, “Kami kira Ibu sudah membuang Abang.”
“Tidak bisa begitu, Nak. Berdosa,” kata istri Guru Tatea Bulan kepada anak-anaknya.
Setelah bertahun-tahun, istri Guru Tatea Bulan kembali menaiki Gunung Pusuk Buhit untuk memberi Raja Uti makan. Dia kaget melihat Raja Uti terjatuh berguling-guling dari Batu Liang. Dia sedih, lalu berdoa, “Ompung Mulajadi Nabolon, saya tidak sanggup lagi melihat anakku tersiksa seperti ini selama hidupnya.”
Akhirnya, dia dan suaminya, Guru Tatea Bulan, dengan berat hati membawa Raja Uti ke puncak tertinggi Gunung Pusuk Buhit. Selama sehari semalam mereka berdoa di puncak, dan tidur di sana. Sambil menangis, Guru Tatea Bulan dan istrinya berdoa, “Ompung, bagaimana pun jadinya kelak anak kami ini, Engkaulah yang tahu. Apakah dia akan jadi manusia yang normal, atau menjadi angin, kami pasrahkan dia ke dalam tangan-Mu.”
Raja Uti pun diselimuti dan ditinggalkan sendirian di puncak tertinggi Pusuk Buhit.
Ratusan tahun berlalu, Mulajadi Nabolon menyampaikan kabar lewat suara-suara tak berwujud kepada warga di kaki Pusuk Buhit: “Ei, manisia, gellengmi ndang mate.”
Empat saudara laki-laki Raja Uti telah beranak cucu. Warga kampung semakin banyak.
Suatu hari ada seorang kakek tak dikenal datang ke kampung, dan berkata, “Akulah anak yang dulu dibuang di puncak.” Orang-orang lalu mengingat cerita, itulah Raja Uti, putra tertua Guru Tatea Bulan, yang semasa kecilnya tidak memiliki tulang.
Raja Uti dikenal sakti. Fisiknya bisa berubah-ubah dalam tujuh macam wujud. Namanya ada tujuh. Raja Uti adalah nama terakhirnya.
“Tidak bisa doa kalian sampai kepada Mulajadi Nabolon bila tidak melalui aku, karena aku tinggal di puncak Pusuk Buhit,” titah Raja Uti kepada warga kampung.
Tapi permintaan Raja Uti sangat berat: ia mesti memakan tubuh manusia sebagai persembahan warga yang meminta sesuatu lewat doa-doa mereka kepada Mulajadi Nabolon. Warga lalu memohon kepadanya agar sesajen tubuh manusia itu digantikan dengan ternak kerbau. Sejak itulah puncak Gunung Pusuk Buhit menjadi keramat.
Bila penyakit atau musibah menimpa warga di perkampungan Limbong dan Sagala zaman dahulu, terang Jatiur Limbong, warga mesti menyiapkan kerbau, horbo laelae, sebagai syarat permintaan doa kepada Mulajadi Nabolon melalui Raja Uti.
“Itu tempat yang sakral. Jangan datang ke Pusuk Buhit jika untuk bersikap atau berkata-kata tak senonoh,” pesan Jatiur Limbong.
Syarat dasar untuk berdoa di puncak Pusuk Buhit, katanya: jeruk purut, daun sirih, dan telur ayam masing-masing tujuh. Bila mampu, orang bisa juga membawa ayam putih atau kambing putih.
Sediaman Limbong mengatakan, tahun lalu ia memugar batu sakral di puncak Pusuk Buhit. Batu itu dipercayai sebagai tempat Guru Tatea Bulan dan istrinya berdoa kepada Mulajadi Nabolon dan meninggalkan anak sulung mereka yang sakti, Raja Uti.

V. PUSUK BUHIT DAN NABI RAJA UTI
Patung Raja Uti
Patung Raja Uti
Pusuk Buhit, gunung keramat bagi orang Batak, bukan cuma bernilai sejarah, melainkan juga rohaniah. Kita tak perlu berlebihan mengultuskan kemistikannya, tapi jangan pula kita enggan mengakui kehadirannya.
Daya mistis Pusuk Buhit, gunung keramat di Kabupaten Samosir dengan ketinggian kira-kira 1.900 meter di atas permukaan laut, telah melegenda ke seantero dunia. Konon di kaki gunung inilah, tepatnya di Parik Sabungan, Desa Sariman Rihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, orang Batak pertama berkampung dan beranak pinak.
Dipercayai, di puncak Pusuk Buhit-lah cucu paling tua Si Raja Batak, Raja Uti, dikembalikan oleh orang tuanya, Guru Tatea Bulan, kepada Mulajadi Nabolon. Raja Uti, yang tubuhnya tak bertulang ketika kecil, muncul beratus tahun kemudian dengan kesaktiannya. Kini, melalui penguasa puncak Pusuk Buhit itu para peziarah memanjatkan doa kepada Mulajadi Nabolon, Sang Pencipta.
Sudah bukan rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk politikus parlemen dan pejabat pemerintah, menaiki puncak Gunung Pusuk Buhit dan menyembah Mulajadi Nabolon. Antara lain, kata anggota DPRD Kabupaten Samosir Tuaman Sagala kepada Koran Toba, “Mantan Gubernur Syamsul Arifin, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih bersama istrinya yang orang Jepang itu sudah beberapa kali ke sana, Akbar Tandjung.” Rekan sejawat Tuaman di DPRD Samosir, Jonni Sihotang, terang-terangan mengakui rajin berdoa di puncak Pusuk Buhit, dan permintaannya selalu terkabul.
Penganut agama-agama mutakhir, khususnya agama langit seperti Kristen dan Islam, mungkin akan sangat sulit menerima keberadaan Mulajadi Nabolon dan “nabi”-Nya di Tanah Batak, Raja Uti. Namun, sebaliknya, pemeluk agama bumi seperti Hindu, Taoisme, Zoroasterisme, dan Parmalim tampaknya akan lebih mudah “mengamininya”, karena religi-religi tersebut lebih terbuka menakrifkan sosok Sang Khalik.